Kebebasan pers kian hanya menjadi kata semata. Implementasinya masih jauh dari ideal. Terbukti dari masih maraknya kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat maupun pihak-pihak lain.
Pers seharusnya menjadi pilar demokrasi. Namun kenyataannya, kerja jurnalistik kerap kali berujung pada ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan fisik.
Melalui data yang dirilis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), polisi menjadi pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2024 dengan total kejadian mencapai 19 kasus.
Tampaknya angka ini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan karena pada awal 2025 kini, kekerasan oleh polisi terhadap wartawan kembali terjadi dan angkanya hampir mencapai setengah dari tahun sebelumnya.
Hingga 13 Juni 2025, data pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang dicatat AJI pada tahun 2025 menunjukkan bahwa polisi telah melakukan kekerasan sebanyak 9 kali.
Adapun kesembilan kekerasan yang dilakukan oleh polisi tersebut meliputi 3 berupa ancaman dan 6 lainnya berbentuk kekerasan fisik pada demonstrasi penolakan RUU TNI serta Hari Buruh.
Jumlah ini menjadikannya sebagai pelaku kekerasan terbanyak kedua di awal 2025, setelah kekerasan oleh oknum tidak dikenal dengan total kasus hingga 17 kejadian.
Warga menempati urutan ketiga sebagai pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis pada awal 2025 dengan kejadian yang tercatat sebanyak 3 kali.
Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap pekerja media dapat terjadi dari massa umum, terutama dalam situasi-situasi penuh ketegangan seperti demonstrasi atau konflik horizontal.
Setelah itu, petugas ketertiban dari daerah seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan aparat pemerintah berada di posisi berikutnya dengan jumlah kekerasan yang sama, yaitu 2 kasus.
Selebihnya, terdapat tujuh kategori pelaku kekerasan yang masing-masing mencatat 1 kejadian kekerasan terhadap wartawan pada awal 2025 sejauh ini. Termasuk organisasi kemasyarakatan (ormas), Tentara Negara Indonesia (TNI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masyarakat umum, perusahaan, pekerja profesional, hingga pejabat pengadilan.
Meski jumlahnya kecil, kehadiran mereka sebagai pelaku menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak mengenal batas institusi, bahkan datang dari mereka yang seharusnya menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas.
Melihat Angka Kekerasan oleh Polisi dalam Satu Dekade Terakhir
Berdasarkan data dari AJI, jumlah kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2020 dengan total hingga 55 kejadian, menjadi angka tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Pada awalnya, kenaikan signifikan mulai terlihat pada tahun 2019 ketika angka kasus meningkat menjadi 31 kejadian dari hanya 14 kasus pada tahun 2018.
Lonjakan ini berkaitan erat dengan dinamika sosial dan politik kala itu, termasuk gelombang demonstrasi besar pada 24 September 2019 mengenai pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai bermasalah oleh masyarakat.
Adapun RUU yang dianggap merugikan tersebut di antaranya adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, serta RUU Mineral dan Batu Bara. Isu nasional ini membuat para wartawan harus merasakan respons represif aparat saat meliput di lapangan.
Sedangkan pada puncaknya yang terjadi di tahun 2020, terjadi penolakan terhadap Omnibus Law yang memicu unjuk rasa berskala nasional dan memunculkan banyak laporan kekerasan terhadap jurnalis.
Namun ketika memasuki tahun 2021, jumlah kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis anjlok drastis hingga menjadi 14 kejadian.
Adapun kemungkinan penyusutan angka ini dipengaruhi oleh menurunnya eskalasi protes publik dan pembatasan mobilitas sosial akibat pandemi COVID-19, yang juga mengurangi eksposur langsung jurnalis terhadap konflik lapangan.
Setelah tahun 2021, jumlah kekerasan oleh polisi kembali stabil di atas angka 10 seperti pada periode awal dekade. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tidak setinggi saat puncaknya, kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat kepolisian tetap menjadi persoalan yang belum terselesaikan secara sistemik.
Konsistennya jumlah kasus di atas 10 kejadian per tahun menunjukkan bahwa peristiwa ini merupakan masalah struktural yang harus ditangani secara menyeluruh.
Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia benar mencemaskan masa depan jurnalisme independen.
“Serangan terhadap kebebasan pers terus meningkat. Yang terakhir, bahkan saat meliput aksi Hari Buruh 1 Mei kemarin, sejumlah jurnalis di beberapa daerah yang tengah melaksanakan tugas jurnalistiknya juga mengalami serangan,” ujarnya pada momentum Peringatan World Press Freedom Day (WPFD) atau Hari Kebebasan Pers Sedunia, Jakarta (3/5/2025).
Namun ia percaya, jurnalis dapat menjadi benteng kokoh bagi demokrasi yang sehat. Maka di tengah krisis demokrasi yang tengah melanda Indonesia, ia berharap seluruh jurnalis dapat memperkuat solidaritas untuk bersatu untuk melawan represi.
“Hanya dengan pers yang bebas, independen, dan berkelanjutan, demokrasi bisa bertahan,” imbuhnya.
Maka, Indonesia memerlukan reformasi internal kepolisian dalam hal pendekatan terhadap pers serta penguatan mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis di lapangan.
Baca Juga: AJI Catat 73 Kasus Kekerasan pada Jurnalis Sepanjang 2024
Penulis: Shahibah A
Editor: Editor