Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam laporannya mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Kasus kekerasan fisik paling banyak terjadi, yaitu mencapai 20 kasus. Aksi hingga menghilangkan nyawa jurnalis pun terjadi satu kali dalam periode yang sama.
Kasus kekerasan tersebut hampir ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Di antaranya terjadi Sumatra Utara, Jakarta, Sulawesi Tengah, Denpasar, Maluku Utara, Papua Tengah, hingga Papua Barat Daya.
Sejumlah pihak teridentifikasi sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Mayoritas dilakukan oleh polisi, kemudian disusul oleh TNI.
Catatan Kelam Dunia Jurnalistik
Selain maraknya kasus kekerasan, sejumlah persoalan lain cukup mengganggu kesejahteraan jurnalis. Masih dalam laporan AJI, ratusan pekerja media online, cetak, maupun penyiaran mengalami PHK.
Pengingkaran UU Ketenagakerjaan masih dijumpai di perusahaan media. Contohnya, hanya memanfaatkan jurnalis dengan kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ditemukan pula kasus pemberian gaji tidak sesuai regulasi, hingga pemotongan gaji sepihak.
Tak hanya merugikan jurnalis secara personal, beberapa langkah yang diambil perusahaan media justru melemahkan independensinya. Hal ini terjadi ketika pemilik media memilih merapatkan barisan kepada penguasa, praktik swasensor yang menggadaikan peran jurnalisme, dan hanya bergantung pada aspek bisnis.
Praktik swasensor misalnya terjadi pada liputan kritis tentang lingkungan. Terdapat kasus pencabutan berita lingkungan karena tekanan dari internal medianya sendiri. Akibatnya, isu lingkungan tidak optimal beredar di masyarakat.
Berdasarkan laporan Reporters Without Borders, Indonesia menempati posisi ke-111 berdasarkan tingkat kebebasan pers. Di posisi ini, Indonesia tergolong kategori difficult dengan skor 51,15. Skor ini ditentukan oleh lima indikator, yaitu politik, ekonomi, kerangka hukum, sosial, dan keamanan.
Situasi politik ketika Pemilu 2024 sangat krusial bagi kebebasan pers Indonesia. Dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi sebelumnya, janji-janji terkait kebebasan pers belum juga terpenuhi.
Pencegahan liputan penekanan aksi separatis di Papua juga menyumbang nilai negatif untuk indikator politik. Indonesia hanya memperoleh skor 38,95.
Indikator ekonomi mendapatkan skor lebih rendah, yaitu 33,46. Pandemi Covid-19 masih meninggalkan bekas dengan banyaknya jurnalis di PHK. Selain itu, media online dinilai mengalami kekurangan iklan hingga standar jurnalistiknya belum berkembang lebih baik.
Pasar media yang dikuasai oleh segelintir perusahaan media juga menunjukkan situasi yang tidak stabil.
Sementara itu, salah satu yang memengaruhi skor kerangka hukum di Indonesia adalah keberadaan UU ITE yang dinilai tak terdefinisi dengan jelas. Aturan yang disebut untuk mengantisipasi berita palsu tersebut, justru tidak tepat guna karena mengancam keberadaan jurnalisme investigasi. Indonesia memperoleh skor 57,57 pada indikator ini.
Sementara itu, pengaruh agama dan budaya seakan memberi batasan pada jurnalis untuk tidak menulis hal yang “tabu”. Hal yang dimaksud dalam laporan ini adalah LGBT, pernikahan dini, maupun aturan lain yang melanggar moralitas. Indikator sosial hanya memperoleh skor 47,77.
Indikator keamanan memperoleh skor paling tinggi, yaitu 77,98. Akan tetapi, laporan ini sejalan dengan laporan AJI yang menyebut bahwa sejumlah kasus menyeret jurnalis pada posisi rentan memperoleh bentuk intimidasi hingga kekerasan fisik. Isu lingkungan juga banyak terbungkam, tak terlepas dari andil pemerintah daerah.
Baca Juga: Lagi-lagi Kekerasan Oleh TNI, Ini Jumlahnya di 2024
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor