Tahun 2024 menjadi pekan yang bersejarah bagi sebagian besar negara-negara demokrasi. Pemilihan umum atau pemilu, momen bagi rakyat untuk memilih perwakilan mereka di parlemen sekaligus siapa yang akan menduduki estafet kursi presiden akan berlangsung di berbagai belahan dunia.
Namun, eksistensi pemilu tahun ini tampaknya masih dibayangi oleh satu ancaman serius, yaitu hoaks.
Menurut dokumen The Global Risk Report 2024 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF), disinformasi dan misinformasi menjadi salah satu ancaman terbesar yang dihadapi dunia, khususnya menjelang pemilu.
Data WEF menunjukkan bahwa India berada di peringkat teratas negara dengan risiko disinformasi dan misinformasi tertinggi.
Para ahli menilai ancaman ini lebih berbahaya dibanding penyakit menular, aktivitas ekonomi gelap, ketimpangan masyarakat, dan kekurangan tenaga kerja.
Hal ini patut diwaspadai, mengingat India akan menggelar pemilu nasional untuk 1,4 miliar penduduknya antara April-Mei 2024 di mana 50% dari penduduk negara ini telah terkoneksi oleh penetrasi internet.
Pada pemilu 2019, India telah mengalami dampak buruk dari hoaks. Platform seperti WhatsApp dan Facebook "dipersenjatai" oleh partai politik untuk menyebarkan pesan provokatif kepada para pendukung, memicu kekhawatiran akan terjadinya kekerasan.
Ancaman ini semakin realistis di era digital, di mana informasi dapat tersebar dengan sangat cepat dan mudah.
Selain India, negara lain yang juga berisiko tinggi terkena dampak hoaks di era pemilu 2024 adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Meksiko, Indonesia, Afrika Selatan, dan Rusia.
Indonesia sendiri menduduki peringkat ke 18 sebagai negara dengan risiko hoaks terbesar. Menurut laporan WEF, 88% dari 278 juta penduduk Indonesia telah terkoneksi internet, sehingga hoaks dapat lebih mudah menjangkau warganet melalui berbagai medium digital.
Ancaman hoaks bukan hanya mengganggu proses pemilu, tetapi juga dapat berakibat fatal bagi stabilitas politik dan demokrasi suatu negara.
"Kehadiran misinformasi dan disinformasi dalam proses pemilihan ini dapat secara serius mengganggu legitimasi nyata dan yang dirasakan dari pemerintah yang baru terpilih, sehingga berisiko menimbulkan kerusuhan politik, kekerasan dan terorisme, serta erosi jangka panjang terhadap proses demokrasi," tulis WEF dalam dokumen The Global Risk Report 2024.
Hoaks Melemahkan Kepercayaan Publik Pada Politik
Eksistensi hoaks tidak bisa dianggap remeh. Dampak misinformasi dan disinformasi ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu.
Hoaks dapat membuat masyarakat ragu terhadap hasil pemilu dan legitimasi pemerintah yang terpilih, sehingga memperparah polarisasi politik dan memicu perselisihan antar kelompok masyarakat.
Maka dari itu, masyarakat perlu di edukasi tentang cara mengidentifikasi dan memerangi hoaks. Hal ini dapat dilakukan melalui program edukasi di sekolah, komunitas, dan media sosial.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi pun perlu mengantisipasi dengan memperkuat regulasi di berbagai platform digital, seperti Facebook, X, dan Google yang mengatur penyebaran hoaks, termasuk memberikan sanksi tegas bagi para pelaku.
Di sisi lain, media massa perlu berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan begitu, masyarakat akan lebih menaruh kepercayaan pada jurnalisme berkualitas ketika mencari informasi yang kredibel.
Pemberantasan hoaks adalah tanggung jawab bersama. Dengan upaya kolektif dari berbagai pihak, diharapkan pesta demokrasi di tahun 2024 dapat berjalan dengan lancar dan damai, tanpa tercoreng oleh hoaks dan disinformasi.
Penulis: Christian Noven Harjadi
Editor: Iip M Aditiya