Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, menyampaikan bahwa pihaknya akan membatasi penggunaan kartu SIM. Batasan yang dimaksud adalah pemakaian maksimal tiga nomor telepon seluler untuk satu nomor induk kependudukan (NIK).
Aturan ini disebut sebagai upaya memerangi spam call yang banyak dialami oleh masyarakat.
“Makanya kemarin kan kita mau mengatur SIM card ya, jadi mohon dukungan. Jadi ketika kita mengatur itu bukan ingin menyulitkan masyarakat, di antaranya kita meminta kepada operator untuk menegakkan bahwa per-NIK itu maksimal tiga, itu harus dilakukan pemutakhiran data oleh operator,” jelas Meutya di Kompleks Istana Kepresidenan (15/5), dilansir dari ANTARA.
Dari catatan Kementerian Komdigi, saat ini terdapat 315 juta kartu SIM, padahal penduduk Indonesia hanya sekitar 280 juta jiwa.
Kerja sama dengan operator seluler sangat diperlukan untuk memastikan kepatuhan pengguna terhadap aturan ini. Verifikasi data pemilik kartu SIM juga harus dilakukan melalui kerja sama ini.
Kementerian Komdigi juga menganjurkan masyarakat untuk menggunakan eSIM yang dianggap lebih aman. eSIM menggunakan verifikasi biometrik untuk memastikan data sesuai dengan NIK pemilik perangkat.
Apa Benar Banyak Spam Call Serang Warga?
Laporan Hiya Global Call Threat Report pada Kuartal IV 2024 menyebutkan, rata-rata penduduk Indonesia menerima panggilan spam hingga 14 kali dalam sebulan. Kemudian, data lainnya menunjukkan bahwa 86% panggilan yang diterima masyarakat Indonesia adalah spam.
Jika dilihat dari persentasenya, Indonesia menempati posisi pertama dengan 86%. Dari sejumlah panggilan spam yang masuk, 35% di antaranya adalah telepon penipuan, 51% telepon gangguan, dan 14% telepon lainnya.
Setelah Indonesia, posisi berikutnya berdasarkan persentase diisi oleh Hong Kong dengan 68%, Filipina 50%, Singapura 40%, dan Malaysia 29%.
Fenomena Spam Call Secara Global
Pada Kuartal IV 2024, kurang lebih ada 11,3 miliar panggilan spam yang diterima warga dunia. Per harinya, ada sekitar 123 juta panggilan spam menyasar. Sebanyak 22% panggilan tergolong panggilan gangguan, 9% panggilan penipuan, sisanya merupakan panggilan lainnya.
Selain itu, fenomena deepfake juga kian marak ditemukan. Menurut author artikel The Year of The Deepfake: Combating Digital Deception in 2024 and Beyond, Steven Smith, deepfake menjadi ancaman serius atas keamanan digital dan kepercayaan publik saat ini.
Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanda, Spanyol, Prancis, dan Jerman, tak hanya menerima deepfake voice scams, banyak juga yang menjadi korban penipuan imbas dari panggilan tersebut.
Ada yang kehilangan uang dan dicuri data dirinya melalui panggilan tipuan tersebut. Tak hanya bagi perseorangan, penipuan ini juga menyasar pelaku bisnis atau perusahaan.
Baca Juga: Mahasiswa Jadi Target Utama Serangan Digital 2024
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor