Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tetap menjadi tantangan besar bagi Indonesia sebagai bagian dari amanat reformasi yang belum sepenuhnya terwujud. Revisi UU KPK menjadi UU No. 19 Tahun 2019 menuai kontroversi karena dianggap melemahkan KPK dan, lebih jauh, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian, pengungkapan kasus-kasus korupsi besar menunjukkan bahwa penegakan hukum masih berjalan, sekaligus mencerminkan kompleksitas permasalahan korupsi di berbagai sektor.
Lima tahun pasca-revisi UU KPK, korupsi masih marak terjadi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, melibatkan berbagai aktor mulai dari pejabat pemerintah, pebisnis, hingga penegak hukum. Kasus-kasus besar seperti penangkapan mantan pegawai Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar terkait suap pengadilan, korupsi Pertamina dengan kerugian negara Rp193 triliun dan kasus korupsi pemberian kredit LPEI dengan kerugian Rp890 miliar menjadi bukti bahwa korupsi masih mengakar, namun juga menandakan upaya penegakan hukum tetap berlangsung.
“Terungkapnya kasus-kasus besar ini menunjukkan korupsi masih terjadi, tetapi juga bahwa penegakan hukum atas kasus korupsi terus dijalankan oleh lembaga penegak hukum,” ungkap Prof. Dr. Suparji Ahmad, pakar hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia pada Rabu (28/5/2025).
Survei Indikator Politik Indonesia dilakukan untuk memahami persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi dan tingkat kepercayaan terhadap lembaga negara. Survei ini juga menyoroti isu-isu publik seperti pembahasan KUHP, tuduhan ijazah palsu terhadap Jokowi, dan pemberantasan premanisme.
Baca Juga: Publik RI Khawatir Akan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan TNI
TNI: Lembaga dengan Kepercayaan Publik Tertinggi
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi, dengan 23,9% responden sangat percaya dan 61,8% cukup percaya. Angka ini menunjukkan bahwa TNI memiliki posisi yang kuat di mata publik, meskipun terdapat polemik terkait revisi UU TNI dan keterlibatan TNI di sektor pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. Suparji Ahmad, kepercayaan tinggi terhadap TNI perlu dianalisis lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor di baliknya, seperti kinerja, profesionalisme, atau pengaruh kepemimpinan nasional.
“Bahwa TNI menempati posisi tertinggi adalah hal yang mengejutkan dan patut didalami,” ujarnya. Isu seperti judicial review UU TNI dan kritik terhadap keterlibatan TNI dalam pemerintahan juga menjadi bagian dari dinamika yang mempengaruhi persepsi publik.
Kejaksaan Agung: Kinerja Penegakan Hukum yang Diapresiasi
Kejaksaan Agung menempati peringkat tinggi dalam survei dengan tingkat kepercayaan publik mencapai 76% (13,1% sangat percaya dan 62,9% cukup percaya). Peringkat ini mencerminkan apresiasi publik terhadap kinerja Kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus Sritex dengan pinjaman macet Rp 3,5 triliun dan kasus mafia peradilan yang melibatkan pengacara, panitera, dan hakim.
Dr. Barita Simanjuntak, anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum Nasional 2023, menyoroti bahwa Kejaksaan tidak hanya berperan dalam penuntutan, tetapi juga mampu mendorong perubahan di lembaga penegak hukum lainnya.
“Kejaksaan kini tidak lagi terhimpit, tetapi menjadi penentu dalam penegakan hukum,” katanya. Salah satu contoh adalah eksekusi kasus Duta Palma di Riau dan Sumatra Utara, yang sebelumnya sulit dilaksanakan meski sudah berkekuatan hukum tetap.
Kepercayaan tinggi terhadap Kejaksaan juga didukung oleh kebijakan Presiden Prabowo, seperti penerbitan Perpres tentang perlindungan jaksa yang melibatkan TNI. Kebijakan ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam mendukung penegakan hukum.
Tantangan KPK dan Lembaga Lain dalam Membangun Kepercayaan Publik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperoleh tingkat kepercayaan yang lebih rendah dibandingkan TNI dan Kejaksaan, dengan 12,7% sangat percaya dan 59,9% cukup percaya. Revisi UU KPK yang kontroversial menjadi salah satu faktor yang memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga ini.
Lembaga lain seperti Kepolisian, Mahkamah Agung, dan DPR juga menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan publik. DPR dan partai politik, misalnya, berada di peringkat terbawah dengan tingkat ketidakpercayaan masing-masing 20,4% dan 22,5%.
Prof. Suparji menyoroti bahwa rendahnya kepercayaan terhadap partai politik merupakan isu serius karena partai politik berperan besar dalam pengisian jabatan publik.
“Partai politik sebagai kontributor utama pengisian jabatan publik harus melakukan refleksi agar kepercayaan masyarakat meningkat,” tegasnya.
Baca Juga: Perwakilan Koalisi Masyarakat Terabas Rapat RUU TNI yang Tertutup dan Diam-Diam
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor