Baru beberapa hari menjabat, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengeluarkan berbagai keputusan kontroversial. Salah satu di antaranya adalah menghentikan progres menuju transisi energi.
Pernyataan ini disampaikan secara langsung saat pidato pelantikan pada 20 Januari 2025 di US Capitol, Washington DC. Dalam pidato tersebut, Trump ingin mengatasi inflasi yang sempat mencapai rekor tertingginya pada abad ke-21—hingga 9,1% pada Juni 2022—saat era kepemimpinan Biden. Menurut Trump, salah satu penyebab inflasi adalah merangkaknya harga energi.
“Krisis inflasi disebabkan oleh masifnya pemborosan serta kenaikan harga energi yang tak terkendali. Karena itulah, hari ini, saya juga mendeklarasikan kondisi darurat energi nasional. Kita akan mengebor habis-habisan! (We will drill, baby, drill!)” ungkapnya.
Trump ingin memaksimalkan bahan bakar fosil yang tersedia. Ia yakin langkah ini akan memperkuat ekonomi Amerika Serikat.
“Sekali lagi, Amerika akan menjadi negara manufaktur. Kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara manufaktur lain, yaitu cadangan minyak dan gas terbesar dibandingkan negara mana pun di dunia, dan kita akan menggunakannya. Kita akan menggunakannya!” terangnya.
“Kita akan menurunkan harga, mengisi kembali cadangan strategis kita hingga penuh, dan mengekspor energi Amerika ini ke seluruh dunia. Kita akan menjadi negara yang kaya kembali, dan ‘liquid gold’ (bahan bakar fosil) di bawah kaki kita ini akan membantu mewujudkannya!” tambahnya lagi.
Tidak hanya itu, Trump juga membatalkan Green New Deal dan menghilangkan target penggunaan kendaraan listrik yang dicanangkan oleh Biden.
“Seiring dengan tindakan saya hari ini, kita akan mengakhiri Green New Deal dan mencabut mandat kendaraan listrik. (Kita akan) menyelamatkan industri otomotif kita, serta memenuhi janji suci saya kepada para pekerja otomotif Amerika yang hebat!” tekannya.
Green New Deal merupakan usulan kebijakan publik yang bertujuan untuk menciptakan emisi nol bersih (net zero emission) dan memenuhi 100% kebutuhan energi negara melalui sumber energi terbarukan. Usulan ini disetujui pada tahun 2019 dan ditargetkan tercapai pada tahun 2030.
Beberapa jam setelah pelantikan, Trump langsung menandatangani sejumlah Perintah Eksekutif (Executive Order) yang mendukung pernyataan pidatonya. Keputusan kontroversial yang dihasilkan di antaranya adalah:
- Menarik diri dari Perjanjian Paris, yaitu kesepakatan global untuk membatasi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Artinya, AS tidak lagi berusaha memenuhi target pengurangan emisi dan tidak lagi memberi komitmen keuangan kepada PBB.
- Menargetkan ekspansi minyak dan gas dua kali lipat lebih besar dengan memanfaatkan Undang-Undang Produksi Pertahanan (Defense Production Act), yang memungkinkan pemerintah menggunakan lahan dan sumber daya pribadi untuk produksi yang dianggap penting bagi kepentingan nasional.
- Mempercepat perizinan pengeboran minyak dengan melemahkan Undang-Undang Spesies Terancam Punah (Endangered Species Act). Bahkan Trump juga membuka kembali Alaskan National Wildlife Refuge (ANWR), yang menjadi area suaka margasatwa, sebagai tempat pengeboran minyak dengan mencabut pembatasan yang sebelumnya telah diterapkan oleh Biden.
- Mencabut kredit pajak sebesar US$7.500 untuk pembelian kendaraan listrik yang telah diterapkan oleh Biden. Usaha Biden untuk memastikan 50% penjualan mobil baru pada 2030 berasal dari mobil bertenaga listrik sudah tidak lagi berlaku.
- Mencabut kebijakan yang mewajibkan pertimbangan dampak lingkungan terhadap masyarakat miskin dan minoritas ketika melakukan peninjauan perizinan proyek baru.
Sebuah Kemunduran?
Langkah Trump dinilai kurang strategis, tidak hanya dari segi lingkungan, tetapi juga dari segi bisnis. Pernyataan ini diungkapkan oleh profesor dari University of Reading, Chris Hilson, yang sekaligus menjadi Direktur dari Reading Centre for Climate and Justice.
“Trump adalah seorang pengusaha, dan dia suka menang. Berpegang teguh pada ekonomi bahan bakar fosil tidak akan memposisikan ekonomi AS untuk menang. Ini bukan masalah iklim, ini masalah bisnis,” ungkapnya, dikutip dari Forbes.
“Jika niatnya tulus, industri otomotif AS berisiko semakin tertinggal dalam persaingan dengan China dibandingkan saat ini. AS bahkan bisa mulai terlihat seperti Rusia dan Kuba dulu. Saat itu, mereka memiliki mobil-mobil berteknologi tua yang tidak ditemukan di tempat lain (ketinggalan zaman). Tentunya hal ini akan menjadi warisan yang aneh,” tambahnya.
Saat ini, China memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan. Global Energy Monitor mencatat bahwa di China, 180 gigawatt (GW) tenaga surya dan 159 GW tenaga angin sudah berada dalam tahap konstruksi.
AS menjadi peringkat keempat dengan total yang berstatus konstruksi mencapai 40 GW. Jumlah ini tertinggal jauh dari China yang berjumlah 339 GW, hampir dua kali lipat dari gabungan seluruh dunia. Data lengkap dari setiap negara terdapat pada tabel berikut.
Negara | Tahap Konstruksi (GW) | Tahap Prakonstruksi (GW) | Diumumkan (GW) |
China | 339 | 457 | 266 |
Brazil | 13 | 202 | 104 |
Australia | 6 | 127 | 174 |
Amerika Serikat | 40 | 147 | 68 |
Spanyol | 9 | 121 | 26 |
Swedia | 3 | 98 | 38 |
Inggris | 10 | 114 | 12 |
Yunani | 4 | 74 | 24 |
Filipina | 4 | 77 | 19 |
Vietnam | 2 | 58 | 26 |
Selama 10 tahun terakhir, AS telah berprogres dalam memproduksi energi dari sumber energi terbarukan. U.S. Energy Information Administration mencatat bahwa produksi energi terbarukan mencapai titik tertingginya pada tahun 2023 dengan total 8,43 kuadriliun Btu, atau sekitar 9% dari total produksi energi nasional. Pertumbuhan produksi energi terbarukan ini diakibatkan oleh peningkatan produksi energi dari tenaga surya dan angin.
Sementara itu, kontribusi batu bara terhadap produksi energi juga telah menurun. Pada tahun 1950, total produksi energi dari batu bara mencapai 40,8%. Sementara itu pada tahun 2023, persentasenya turun menjadi 11%. Dikutip dari The Guardian, sebuah studi mengatakan bahwa 99% pembangkit listrik tenaga batu bara di AS memiliki biaya operasional yang mahal, bahkan lebih mahal apabila dibandingkan dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya/angin yang baru.
Dampaknya Bagi Indonesia
Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), kebijakan ini dapat berdampak signifikan terhadap berkurangnya permintaan mineral penting seperti nikel, tembaga, dan bauksit yang digunakan sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik.
“Harga nikel telah turun 3,7% dari tahun ke tahun, sementara kobalt anjlok 16,6% pada periode yang sama,” ungkap Bhima Yudhistira selaku Direktur Eksekutif Celios dikutip dari Jakarta Globe. Menurutnya, harga mineral yang terus berkurang dapat mendorong produsen mobil AS untuk mempertimbangkan kembali kontrak atas pasokan bahan baku mereka sehingga berpotensi mengganggu sektor pertambangan Indonesia.
Keputusan Trump juga berisiko merusak pembiayaan internasional untuk energi bersih, termasuk program Just Energy Transition Partnership (JETP). Program bernilai US$20 miliar untuk mendekarbonisasi sektor energi dan mineral yang ada di Indonesia ini akan terancam.
“Tanpa dukungan AS yang kuat, kemitraan global untuk transisi energi Indonesia dapat goyah, dan mengancam pengembangan komponen mobil listrik dalam negeri,” tambah Bhima.
Baca Juga: Realita Transisi Energi Terbarukan di Indonesia: Bisakah Target 23% pada 2025 Tercapai?
Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor