Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi baru terbarukan (EBT). Sejak Perjanjian Paris dilaksanakan, setiap negara bertanggung jawab untuk melakukan konversi ke arah energi terbarukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh krisis iklim dan efek dominonya yang mengancam sistem ekonomi hingga sosial secara global.
Namun, transisi energi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun Indonesia telah berkomitmen untuk membangun transisi energi, tetap ada berbagai kendala yang akhirnya membuat pemerintah gigit jari atas target-target transisi yang telah dicanangkan.
Bauran Energi Terbarukan Masih Jauh dari Target
Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan dalam suplai energi utama sebesar 23% pada tahun 2025. Namun, perkembangan transisi yang dilakukan pemerintah masih jauh dari angka tersebut.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan laporan mengenai statistik energi dan ekonomi di Indonesia pada tahun 2023. Dalam laporan tersebut, kenaikan bauran energi terbarukan masih cenderung stagnan dengan kenaikan rata-rata hanya sebesar 1% setiap tahunnya.
Pada tahun 2023 sendiri, bauran EBT masih berada di angka 13,21% dari total energi yang ada. Padahal, pemerintah telah menargetkan transisi energi pada tahun 2023 sebesar 17,9% sebagai wujud komitmennya untuk mencapai target pada tahun 2025.
Perkembangan Indonesia dalam transisi energi dipengaruhi oleh tata kelola yang buruk, komitmen politik yang rendah dan regulasi yang tidak mendukung. Melalui laporan Institute for Essential Service Reform (IESR) yang diterbitkan guna melihat gambaran transisi EBT tahun 2025, tidak adanya regulasi yang jelas sebagai landasan hukum masih menjadi celah bagi pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Selain itu, kurang efisiennya pelaksanaan kebijakan pajak karbon dan penyesuaian harga listrik EBT menambah kompleks capaian transisi energi Indonesia pada tahun 2025. Hal ini menandai kurangnya komitmen pemerintah dalam melaksanakan transisi EBT di Indonesia.
Capaian Transisi EBT Tiap Sektor, Transportasi Capai Target
Transisi energi EBT membutuhkan kontribusi dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga sektor industri. Namun, Indonesia nampaknya masih jauh dari target transisi di berbagai sektor, kecuali transportasi yang telah mencapai target sebelum tahun 2025.
Sektor | Aspek | Target 2025 | Realisasi 2023 |
Ketenagalistrikan | % RE Share | 31,8% | 18,9% |
Transportasi | % Direct RE | 12,8% | 13,5% |
% Electrification | 0,3% | 0,1% | |
Industri | % Direct RE | 11,4% | 4,5% |
% Electrification | 24,1% | 12,7% | |
Komersial dan Rumah Tangga | % Direct RE | 1,9% | 1,6% |
% Electrification | 72,3% | 59,8% |
Laporan IESR yang diterbitkan pada tahun 2024 menggambarkan capaian setiap sektor sebagai kontribusinya terhadap capaian transisi EBT pada tahun 2025. Dari empat sektor yang dinilai, hanya ada satu sektor yang menunjukkan tren positif yaitu transportasi. sektor ini menggunakan energi EBT secara langsung (Direct Renewable Energy) sebesar 13,5% dari target 12,8% pada tahun 2025.
Sedangkan, dari sektor ketenagalistrikan sendiri hanya terdapat 18,9% pembangkit listrik EBT yang telah dikembangkan, dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan pemerintah melalui RUEN tahun 2025 sebesar 31,8%. Hal tersebut juga berlaku dalam sektor Industri, Komersial, dan Rumah Tangga.
Investasi jadi Faktor Penentu dalam Transisi EBT
Kelancaran investasi dalam sektor EBTKE menjadi salah satu penopang untuk mengakselerasi transisi EBT di Indonesia. Akan tetapi, Indonesia memperoleh kendala dalam memperoleh investasi yang disebabkan berbagai faktor.
Dalam laporan Kinerja Kementerian ESDM tahun 2023, dipaparkan secara rinci berbagai kendala yang dihadapi dalam memperoleh investasi dalam sektor EBTKE, antara lain keterlambatan pelaksanaan proyek EBT oleh PLN, masalah sosial di lingkungan pembangunan proyek, rendahnya ketertarikan sektor perbankan, hingga kurangnya transparansi data.
Hal ini menyebabkan investasi sektor EBTKE masih belum mencapai target realisasi yang telah ditentukan. Pada tahun 2023, pemerintah telah menargetkan investasi sebesar US$1,8 miliar. Akan tetapi, realisasinya hanya memperoleh pendanaan sebesar US$1,48 miliar. Begitu pun pada tahun 2022 yang juga belum mencapai target yang awalnya US$3,98 miliar, namun realisasi pendanaan hanya sebesar US$1,55 miliar.
Dengan demikian, stagnasi transisi energi terbarukan di Indonesia seharusnya telah menjadi titik balik dalam merefleksikan komitmen Indonesia dalam mencapai cita-cita bersama di dalam Perjanjian Paris. Keseriusan pemerintah dalam menjalankan proyek dan tegasnya hukum yang melandasi energi terbarukan dapat menjadi jalan bagi kemajuan Indonesia dalam pelaksanaan transisi EBT.
Baca Juga: Transisi Energi Berkelanjutan Indonesia Masih Tertinggal di G20
Penulis: Nur Fitriani Ramadhani
Editor: Editor