Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menetapkan tarif impor dasar sebesar 10% untuk semua barang impor yang masuk Amerika Serikat. Akan tetapi, barang dari sejumlah negara dikenai tarif lebih besar. Salah satunya Indonesia, yang dikenai tarif hingga 32%.
Dengan kebijakan ini, maka Amerika Serikat perlu membayar biaya tambahan 32% dari total nilai barang yang diimpornya dari Indonesia.
Menurut pernyataan Gedung Putih, tarif yang dikenakan pada Indonesia merupakan tarif resiprokal atau tarif timbal balik, karena Indonesia juga menetapkan tarif impor tinggi terhadap produk Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia. Salah satunya produk etanol.
Alasan lainnya, sejumlah kebijakan Indonesia dinilai terlalu “merepotkan”. Meskipun demikian, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, menyebut kebijakan impor yang ada saat ini merupakan langkah memperkuat industri dalam negeri.
“Kalau kita tidak menerapkan aturan yang “rumit”, maka impor akan membanjiri Indonesia. Akibatnya (industri dalam negeri) akan kalah saing,” tutur Heri pada GoodStats, Rabu (9/4/2025).
Penetapan tarif ini dapat membatasi jumlah barang impor asal Indonesia di Amerika Serikat. Dengan demikian, ada kemungkinan produktivitas di Indonesia menurun. Sejumlah sektor impor utama Amerika Serikat dari Indonesia, mungkin jadi yang pertama kali terdampak.
Indonesia Pilih Langkah Negosiasi Hadapi Ini
Setelah mulai diberlakukan pada Rabu (9/4), beberapa negara mulai menentukan sikap atas kebijakan Donald Trump ini. Salah satunya adalah China, yang kemudian menetapkan tarif impor Amerika Serikat ke negaranya menjadi 34%.
Akan tetapi, Trump justru kembali membalas tangkisan China. Jika tidak mencabut ketentuan tersebut, Amerika Serikat akan menambahkan 50% tarif impor asal China, totalnya menjadi 104%.
Di samping itu, China juga melakukan kontrol ekspor terhadap beberapa komoditas China untuk perusahaan Amerika Serikat.
Tak hanya China, Uni Eropa juga menyiapkan tarif impor 25% terhadap produk asal Amerika Serikat sebagai balasannya.
Sementara itu, Singapura memilih untuk membentuk gugus tugas nasional sebagai upaya mendukung bisnis dan pekerja dalam negeri.
Indonesia memilih langkah serupa dengan Vietnam, yaitu negosiasi. Langkah yang dipilih Indonesia ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada acara Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4) lalu.
"(Indonesia) tidak melakukan retaliasi dan pendekatan diplomatik, termasuk membuka pasar CPTPP dan RCEP. Indonesia juga mendorong intra-ASEAN trade ditingkatkan," jelas Airlangga.
Menurut Peneliti INDEF, Heri, langkah negosiasi yang mungkin dilakukan adalah fleksibilitas regulasi ekspor impor. Akan tetapi, negosiasi tersebut harus tetap memperhatikan produktivitas Indonesia, bukan justru melemahkan industri dalam negeri.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor