Di tengah upaya global menuju transisi energi bersih, Indonesia masih menggantungkan sebagian besar pasokan listriknya pada batu bara. Bahan bakar fosil ini sayangnya masih menjadi tulang punggung pembangkit listrik karena ketersediaannya yang melimpah dan harganya yang lebih murah ketimbang energi terbarukan. Meski pemerintah telah menargetkan peningkatan bauran energi hijau, kenyataannya batu bara masih mendapat porsi dominan dalam rencana pembangunan kelistrikan nasional hingga 2034 mendatang.
Menurut laporan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dipublikasikan Kementerian ESDM pada Juni 2025 lalu, Indonesia saat ini sedang melaksanakan skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED), yakni salah satu strategi penurunan emisi dan mempercepat transisi energi. ARED berisikan target pengurangan energi fosil dan penambahan energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih progresif dibandingkan skenario normal. Meski begitu, batu bara tetap mendominasi.
Dengan menggunakan skenario ARED, sumber energi batu bara mendominasi dengan mencapai 64,2% pada 2025, jauh lebih tinggi ketimbang EBT di angka 15,9%. Sumber energi primer lain yang turut dipertimbangkan adalah gas (15,7%), BBM (3,9%), dan impor (0,4%). Adapun EBT yang dimasukkan di sini berasal dari air, panas bumi, biomassa, sampah, surya, bayu, nuklir, dan sumber lain.
Meski masih mendominasi, proporsi batu bara berangsur menurun, sedangkan proporsi penggunaan EBT sebagai sumber energi primer terus meningkat hingga 2034.
Pada 2034, proyeksi batu bara sebagai sumber energi primer turun menjadi 46,8%, sedangkan proyeksi penggunaan EBT ditaksir naik hingga 34,3%. Meski belum mendominasi, kenaikan masif ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendorong penggunaan energi hijau dalam negeri. Adapun EBT yang bersumber dari pembangkit listrik mendapat proporsi tertinggi, mencapai 14,3%, disusul pembangkit listrik dari panas bumi yang sebesar 9,6% dan surya yang mencapai 8,4% pada 2034.
Dalam RUPTL ini, sejatinya terdapat dua skenario bauran energi, yakni skenario RE Base dan skenario ARED. Skenario RE Base sendiri didasarkan pada optimasi operasional dan keekonomian sistem, namun tetap mengutamakan energi EBT sebagai pemasok utama. Hal ini berbeda dengan skenario ARED, dimana dilakukan usaha percepatan bauran energi dan menjaga emisi total agar tidak naik lagi setelah tahun 2030.
Baca Juga: RI Targetkan 34% Listrik Indonesia Berasal dari EBT pada 2034
Sumber:
https://www.esdm.go.id/
https://drive.esdm.go.id/wl/?id=0iOsVTWbBMgGGRHow7cXmkOOftqutKl4
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor