Netizen Indonesia memang penuh kreatifitas. Belakangan ini, muncul dua istilah baru yang sering disebut di media sosial. Rohana dan rojali, bagi yang pertama mendengar, mungkin mereka bakal berpikir kalau dua nama ini merupakan tokoh sinetron baru dari Betawi, karena memang secara fonetik, dua nama ini cocok dengan gaya penamaan orang Betawi tempo dulu.
Namun, usut demi usut, ternyata bukan itu maksud rohana dan rojali. Istilah ini memiliki arti yang lebih dalam, menyinggung realitas sosial dan ekonomi yang terjadi di masa kini.
Rohana merupakan akronim dari ‘rombongan hanya nanya’, sementara rojali merujuk pada ‘rombongan jarang beli’. Dua istilah ini menjadi sebutan bagi masyarakat yang hobi berkunjung di mal, tapi bukan untuk belanja, namun hanya sekadar jalan-jalan dan melihat-lihat saja.
Bukan Guyonan, Melainkan Alarm yang Perlu Perhatian
Fenomena rohana dan rojali bukan sekadar istilah lucu yang diciptakan warganet, melainkan cermin dari perubahan perilaku masyarakat. Ada banyak kemungkinan penyebabnya: daya beli yang kian melemah akibat ekonomi tak kunjung membaik, kebiasaan menahan pengeluaran demi kebutuhan yang lebih mendesak, atau pergeseran belanja ke platform daring yang membuat mal tak lagi jadi pusat transaksi.
Namun apa pun akar masalahnya, dampaknya terhadap industri ritel nyata adanya. Semakin banyak pengunjung yang hanya ‘nanya’ atau ‘lihat-lihat’, semakin tipis peluang penjualan. Jika dibiarkan, kerugian akan menumpuk, perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, dan ujungnya bisa mengarah pada gelombang PHK, sebuah rantai masalah yang tak lagi bisa dianggap sepele.
Rohana dan Rojali dari Berbagai Kacamata: Pelaku Ritel dan Pemerintah
Fenomena rohana dan rojali memang belum memiliki penyebab yang pasti. Namun, pandangan yang muncul dari berbagai pihak menunjukkan perbedaan sudut pandang yang cukup jelas. Terutama antara kalangan pelaku industri dan pemerintah.
Pandangan Pelaku Ritel
Bagi pelaku industri ritel, fenomena ini erat kaitannya dengan daya beli yang melemah. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menilai perbedaan latar belakang ekonomi masyarakat memengaruhi perilaku belanja mereka.
Untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, penurunan daya beli menjadi alasan utama.
"Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," ungkap Alphonsus, dikutip dari Detik pada Selasa (12/8/2025).
Sementara itu, pada masyarakat kelas menengah atas, pola yang terjadi lebih pada kehati-hatian dalam membelanjakan uang karena mempertimbangkan kondisi ekonomi secara luas.
"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global," lanjutnya.
Pandangan Pemerintah
Berbeda dengan pelaku ritel, pemerintah melihat fenomena rohana dan rojali lebih sebagai akibat dari pergeseran pola belanja, bukan penurunan daya beli. Fenomena ini bahkan sudah menjadi perhatian Istana.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menjelaskan bahwa perubahan model jual beli menjadi faktor utama.
“Kita mungkin masih melihatnya dalam ekonomi konvensional, sementara sekarang ekonomi itu berkembang sekali. Model dan cara jual beli juga berkembang,” ujarnya dalam konferensi pers pada Kamis, (7/8/2025).
Menurut Hasan, masyarakat kini cenderung memilih belanja daring sehingga transaksi tidak lagi banyak terjadi di toko fisik.
“Mungkin jual belinya tidak lagi di toko-toko konvensional, tapi mungkin sudah lewat marketplace, lewat platform yang lain,” kata dia.
Nada serupa juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia menilai isu rohana dan rojali berbeda dengan kondisi lapangan.
“Terkait dengan isu rohana dan rojali, ini isu yang ditiup-tiup. Jadi faktanya berbeda dan tentu ini yang harus kami lihat,” katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Survei Snapcart: Alasan Dibalik Bisnis Mal di Indonesia yang Mulai Jatuh
Survei Snapcart pada Mei 2025 yang melibatkan 1.514 responden Indonesia memperlihatkan tren jelas terkait perubahan kebiasaan masyarakat dalam berbelanja. Hanya sekitar 40% responden yang mengaku masih rutin mengunjungi mal.
Alasan utama yang mendasari hal ini adalah pergeseran pola belanja yang makin condong ke platform daring, artinya temuan ini hampir selaras dengan pandangan pemerintah.
Sebanyak 50% responden memilih belanja online karena dinilai jauh lebih praktis dan efisien dibanding harus datang langsung ke mal. Waktu dan energi yang dibutuhkan untuk pergi ke mal, apalagi dengan kemacetan dan jarak tempuh yang seringkali merepotkan, membuat 14% responden lebih memilih berbelanja dari rumah.
Selain itu, 13% menyebut harga barang di toko online lebih bersaing dibanding mal, yang semakin memperkuat alasan beralih ke belanja daring.
Penutup
Pada akhirnya, fenomena rohana dan rojali bukan sekadar fenomena sosial yang lucu, melainkan gambaran nyata dari pergeseran pola konsumsi masyarakat Indonesia. Dengan kemudahan akses dan kepraktisan belanja online, masyarakat kini lebih memilih transaksi digital dibandingkan datang langsung ke mal.
Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus panggilan bagi pelaku industri ritel untuk beradaptasi dengan cepat. Ritel fisik harus berinovasi, memadukan layanan offline dan online agar bisa bersaing dan tetap relevan di tengah gelombang digitalisasi yang terus menggulung. Jika tidak, risiko turunnya penjualan dan berimbas pada efisiensi hingga PHK, seperti yang sudah mulai terlihat, akan semakin nyata.
Baca Juga: Tergerus Toko Online, Benarkah Bisnis Mal Mulai Jatuh?
Sumber:
https://www.detik.com/jogja/bisnis/d-8031379/fenomena-rojali-dan-rohana-di-mall-dampaknya-apa-ini-penjelasannya
https://www.tempo.co/ekonomi/rojali-dan-rohana-istilah-baru-yang-viral-soal-daya-beli-masyarakat-2051884#goog_rewarded
https://snapcart.global/the-fall-of-shopping-centers-in-indonesia-part-1/
Penulis: izzul wafa
Editor: Editor