Tsunami merupakan gelombang laut tinggi berlapis yang menghantam daerah pesisir. Dikutip dari National Ocean Service, tsunami merupakan gelombang ombak raksasa yang disebabkan oleh kejadian mendadak seperti gempa di dasar laut, letusan gunung berapi di bawah laut, longsor bawah laut, dan kejadian pemicu lainnya.
Lalu apa bedanya tsunami dengan gelombang pasang biasa? Gelombang pasang atau yang biasa dikenal dengan istilah tidal wave digerakkan oleh interaksi gravitasi antara bumi, bulan, dan matahari. Gerakannya pun cenderung perlahan dan tidak merusak. Sedangkan tsunami merupakan pergerakan gelombang air laut secara masif dikarenakan kejadian yang memaksa air itu bergerak ke arah pesisir. Juga, tsunami biasanya menimbulkan kerugian.
Efek dari tsunami bisa diminimalisir dengan pendekatan komprehensif. Menghadapi tsunami membutuhkan pendekatan berlapis yang menggabungkan strategi struktural, teknologi, dan penguatan masyarakat. Tsunami sangat merusak dan sulit diprediksi, sehingga tidak ada satu solusi yang sepenuhnya aman.
Cara paling efektif adalah kombinasi pertahanan fisik, sistem peringatan dini, kesiapsiagaan, serta ketahanan komunitas. Upaya ini meliputi pembangunan dinding laut, pemecah gelombang, dan tanggul, yang dipadukan dengan solusi alami seperti penghijauan pesisir serta penataan ruang. Relokasi permukiman ke dataran lebih tinggi dan pembatasan pembangunan di zona rawan juga memperkuat perlindungan.
Sistem peringatan dini berbasis data seismik dan geodetik memungkinkan masyarakat menerima informasi cepat untuk evakuasi. Edukasi publik, latihan evakuasi rutin, serta pemahaman tanda alamiah seperti gempa kuat atau surut mendadak, meningkatkan peluang selamat.
Pasca bencana, citra satelit membantu memetakan kerusakan, sementara alat sederhana seperti pelampung pribadi dapat mengurangi risiko tenggelam. Seluruh strategi ini perlu ditopang analisis risiko probabilistik serta kolaborasi lintas disiplin antara ahli teknik, geologi, manajemen darurat, dan komunitas lokal agar penanganan tsunami lebih terintegrasi.
Namun, perlu dipahami bahwa kerentanan terhadap tsunami juga dipengaruhi oleh faktor sosioekonomik. Sebut saja pemukiman yang rawan terpapar tsunami, khususnya masyarakat pesisir. Terlebih lagi, fasilitas dan pengetahuan terkait ancaman tsunami di kalangan pedesaan biasanya masih kurang. Badan Pusat statistik (BPS) mencatat terdapat 12.968 desa di pesisir pantai. Tingginya angka tersebut meningkatkan kerentanan terhadap tsunami
Data tersebut juga memberikan gambaran provinsi mana yang paling rawan terpapar tsunami karena tingginya angka desa yang berada di bibir pantai. Terdapat sepuluh provinsi dengan jumlah desa tepi laut terbanyak di Indonesia. Maluku menjadi provinsi dengan desa pesisir paling banyak, yakni 1.070 desa. Posisi berikutnya ditempati Sulawesi Tengah dengan 1.022 desa serta Nusa Tenggara Timur dengan 1.016 desa. Selain itu, Maluku Utara memiliki 946 desa, Sulawesi Tenggara dengan 937 desa, dan Sulawesi Utara dengan 776 desa.
Provinsi-provinsi lain yang juga memiliki jumlah cukup besar adalah Aceh dengan 724 desa, Jawa Timur (662 desa), Papua (551 desa), dan Sulawesi Selatan (524 desa).
Terakhir, perlu dipahami bahwa bencana bukan hanya persoalan alam, melainkan terdapat andil manusia di dalamnya. Minimnya pengetahuan, mitigasi, rencana evakuasi, dan teknologi untuk menghadapi bencana seperti tsunami dapat meningkatkan kerentanan. Untuk itu, kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah menjadi kombinasi ampuh menangkal tsunami.
Baca Juga: Menerawang Risiko Bencana Letusan Gunung Berapi di Indonesia
Sumber:
https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTM1IzI=/jumlah-desa-menurut-provinsi-dan-letak-geografi.html
https://www.usgs.gov/faqs/what-difference-between-a-tsunami-and-a-tidal-wave
https://oceanservice.noaa.gov/facts/tsunami.html
Penulis: Faiz Al haq
Editor: Editor