Sarapan atau makan pagi sering kali dianggap sepele, padahal memiliki peran vital dalam menunjang energi, konsentrasi, dan kesehatan tubuh sepanjang hari.
Penelitian oleh Meiriska, Pramudho, & Murwanto (2014) menyebutkan bahwa sarapan yang bergizi dapat mendukung konsentrasi belajar serta memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk proses fisiologis. Penelitian lain dari Salsabila & Nareswari (2023) juga menegaskan bahwa sarapan mampu menyediakan energi bagi kerja otak pada pagi hari, sehingga berpengaruh langsung terhadap daya fokus siswa di sekolah.
Bagi peserta didik, sarapan menjadi bekal penting untuk memulai proses belajar dengan fokus dan semangat penuh. Anak yang rutin sarapan memiliki konsentrasi dan daya tangkap lebih baik dibanding yang melewatkannya. Sebaliknya, mereka yang berangkat sekolah tanpa sarapan cenderung mengalami kesulitan fokus di jam-jam awal pelajaran, karena tubuh kekurangan pasokan energi yang dibutuhkan otak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa secara nasional, 71,05% peserta didik di Indonesia memiliki kebiasaan sarapan setiap hari. Kebiasaan ini tidak selalu berarti mengonsumsi makanan berat, melainkan disesuaikan dengan tradisi setempat seperti mengonsumsi pisang, ubi, susu, atau makanan ringan lainnya. Meski angka ini sudah cukup tinggi, masih ada ruang besar untuk perbaikan, terutama di daerah-daerah dengan persentase sarapan rendah.
Jika melihat peringkat provinsi, Sumatra Utara menempati posisi teratas dengan 85,16% peserta didik rutin sarapan setiap hari. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional dan menjadi bukti bahwa budaya sarapan di daerah ini sudah mengakar kuat.
Posisi berikutnya diisi oleh Jawa Tengah (76,83%), DI Yogyakarta (76,66%), dan Jawa Barat (76,53%). Provinsi lain yang masuk sepuluh besar antara lain Banten, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Lampung, dan Aceh. Meskipun Aceh berada di urutan terakhir dalam daftar ini, persentasenya masih tergolong tinggi yaitu 74,15%, menandakan bahwa mayoritas siswa di sana juga memiliki kebiasaan sarapan.
Sebaliknya, provinsi dengan persentase kebiasaan sarapan setiap hari terendah pada 2024 adalah Gorontalo (42,45%), Sulawesi Tengah (43,15%), dan Papua Pegunungan (43,56%). Rendahnya angka ini menunjukkan perlunya intervensi lebih serius untuk mendorong kesadaran pentingnya sarapan di kalangan peserta didik, mengingat perannya yang vital dalam menunjang energi, konsentrasi, dan kesehatan.
Tingginya kebiasaan sarapan di beberapa provinsi bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti peran orang tua, akses pangan yang memadai, hingga kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi.
Di perkotaan, persentase kebiasaan sarapan cenderung lebih tinggi dibanding perdesaan. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan yang lebih beragam dan informasi gizi yang lebih mudah diakses. Namun, tantangan tetap ada, terutama pada keluarga dengan tingkat pengeluaran rendah, di mana prioritas kebutuhan mungkin lebih fokus pada makan siang atau malam.
Sarapan tidak hanya memengaruhi stamina anak selama belajar, tetapi juga membentuk pola konsumsi jangka panjang. Sekolah menjadi lingkungan strategis untuk membangun kebiasaan makan sehat, termasuk dengan mendorong siswa membawa bekal dari rumah. Bekal yang sehat dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi sekaligus menghindarkan anak dari jajanan yang tidak higienis. Membawa bekal sendiri dapat mendukung status gizi anak dan menekan risiko konsumsi makanan yang tidak aman.
Namun, tidak semua siswa memiliki kesempatan membawa bekal setiap hari. Kesibukan orang tua, keterbatasan waktu, dan daya tarik menu kantin membuat sebagian siswa memilih membeli sarapan atau camilan di sekolah. Menariknya, data juga mencatat sekitar 10,01% siswa di Indonesia berlangganan makanan di sekolah secara rutin, baik mingguan, bulanan, maupun tahunan. Ini menunjukkan bahwa kantin sekolah dan penyedia makanan di sekitar sekolah memiliki peran besar dalam asupan gizi siswa.
Kebiasaan sarapan siswa ini sejalan dengan visi pemerintah melalui program Makan Bergizi Gratis, yang mulai dijalankan secara bertahap pada tahun ajaran 2024/2025. Program ini ditujukan untuk memastikan seluruh siswa mendapatkan asupan gizi seimbang, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Dengan kombinasi antara kebiasaan sarapan di rumah dan dukungan program pemerintah, diharapkan angka siswa yang sarapan setiap hari dapat terus meningkat, sekaligus menekan masalah gizi kurang dan meningkatkan prestasi belajar.
Melihat capaian Sumatra Utara yang sangat tinggi, provinsi ini dapat menjadi contoh praktik baik bagi daerah lain. Mendorong budaya sarapan dapat dilakukan melalui edukasi gizi di sekolah, penyediaan menu sarapan sehat yang terjangkau, serta kolaborasi antara orang tua, guru, dan pemerintah daerah. Semakin luas kebiasaan ini diterapkan, semakin besar pula peluang untuk mencetak generasi muda yang sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi.
Baca Juga: Ikuti Jejak Prabowo, Pramono Mau Bikin Program Sarapan Gratis
Sumber:
https://www.bps.go.id/id/publication/2025/05/28/1d3b07ea55c4e8d8ce5d5859/statistik-penunjang-pendidikan-2024.html
https://jurnal.penerbitwidina.com/index.php/JPI/article/view/1623
https://journalofmedula.com/index.php/medula/article/view/593
Penulis: Nur Azis Ramadhan
Editor: Editor