Tahun 2025, posisi utang Indonesia menjadi sorotan utama dalam diskursus ekonomi nasional. Data terbaru menunjukkan bahwa utang luar negeri Indonesia mencapai US$430,4 miliar atau sekitar Rp7.144,6 triliun, naik 6,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Peningkatan ini didorong oleh kenaikan utang luar negeri pemerintah yang mencapai US$206,9 miliar, tumbuh 7,6% dibanding tahun lalu. Kenaikan ini terutama diakibatkan penarikan pinjaman dan aliran masuk modal dari Surat Berharga Negara (SBN) internasional, yang sejatinya menggambarkan kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
“Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman dan peningkatan aliran masuk modal asing pada SBN internasional, seiring dengan kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi,” tutur Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, Jumat (16/5/2025).
Sementara itu, ULN swasta tercatat mencapai US$195,5 miliar, mengalami kontraksi 1,2% dibanding tahun lalu. Kontraksi ini terutama didorong oleh ULN bukan lembaga keuangan yang kontraksi sebesar 0,9%.
Masih Aman?
Meski nominal utang Indonesia ini naik 6,4% dibanding tahun lalu, BI menilai struktur utang luar negeri indonesia masih tetap sehat, mengikuti prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang selama ini.
Rasio utang Indonesia terhadap PDB mencapai 30,6%, untuk utang pemerintah di angka 40,7% rasionya. Nilai ini masih jauh di bawah batas aman rasio utang yang ditetapkan IMF sebesar 60% dan yang berlaku di Indonesia, yang sama-sama sebesar 60% dari PDB. Hal ini berarti, meski jumlahnya naik, posisi utang Indonesia masih tergolong sehat.
Sementara itu, sekitar 84,7% utang Indonesia saat ini termasuk utang jangka panjang, yang berarti pemerintah tidak harus membayar kembali utangnya dalam waktu dekat. Indonesia pun punya ruang untuk mengelola pelunasannya secara bertahap.
Sejauh ini, utang Indonesia dimanfaatkan untuk mendanai defisit APBN, pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta subsidi.
Kendati demikian, ada beberapa risiko yang patut diwaspadai pemerintah, seperti kenaikan suku bunga global yang berpotensi meningkatkan biaya bunga utang, pelemahan nilai tukar rupiah, pelemahan kinerja APBN, hingga ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap utang.
Guna memastikan struktur utang Indonesia tetap sehat, BI dan pemerintah akan terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan utang.
“Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan,” tutup Ramdan.
Baca Juga: Berapa Utang Luar Negeri Indonesia Saat Ini?
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor