Stigma Mengenai Korban Kekerasan Seksual dan Faktanya

Pengesahan UU TPKS dinilai membuat korban kekerasan seksual lebih berani untuk melaporkan kasusnya. Dengan adanya UU TPKS, korban mendapatkan perlindungan hukum

Stigma Mengenai Korban Kekerasan Seksual dan Faktanya Ilustrasi kekerasan seksual (shutterstock.com/g/Tinnakorn++jorruang)

Pengesahan UU TPKS dinilai membuat korban kekerasan seksual lebih berani untuk melaporkan kasusnya. Dengan adanya UU TPKS, korban mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendapat pemulihan baik secara fisik maupun mental. Selain itu, barang bukti juga tidak harus berupa visum fisik, namun bisa juga dari asesmen psikolog/psikiater.

Namun, stigma kekerasan seksual di lingkungan sosial masih tetap terjadi. Ketika kasus kekerasan seksual viral ke publik, tak jarang korban justru mendapat victim blaming dari masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kekerasan seksual terjadi karena korban yang tidak mampu menjaga diri, seperti senang pergi di malam hari, atau mengenakan pakaian yang terbuka sehingga orang asing melakukan pelecehan kepada korban.

Indonesia Judicial Research Society (IJRS) melakukan survei mengenai gambaran isu kekerasan seksual di Indonesia selama tahun 2018-2020. Survei ini dilakukan sebelum disahkannya UU TPKS.

Usia Korban

Berdasarkan usianya, mayoritas korban kekerasan seksual berusia 6-18 tahun, yaitu sebesar 72,1 persen. Artinya, lebih dari setengah dari total korban dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan merupakan anak-anak dan remaja. 

Anak dibawah umur tidak mampu memberikan consent, sehingga lebih mudah dimanipulasi. Pengetahuan anak tentang kekerasan seksual juga masih kurang dibandingkan orang dewasa. Hal ini juga terkait dengan relasi kuasa, dimana orang yang lebih tua merasa lebih memiliki hak untuk mengatur tubuh yang lebih muda.

Pelaku Kebanyakan Berasal dari Orang Terdekat

Stigma lain terhadap korban kekerasan seksual adalah mudah percaya dengan orang asing. Faktanya, pelaku kekerasan seksual justru sebagian besar adalah orang terdekatnya. Survei IJRS menyatakan bahwa 25,2 persen pelaku kekerasan seksual yang dilaporkan adalah pacar korban.

Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman justru bisa menjadi tempat paling tidak aman bagi 26,8 persen korban kekerasan seksual. 13,5 persen pelaku kekerasan seksual merupakan anggota keluarga besar, sedangkan 13,3 persen lainnya merupakan anggota keluarga inti. Mirisnya, 59,9 persen kekerasan seksual terjadi di rumah korban sendiri.

Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Siang Hari

Korban kekerasan seksual seringkali dianggap perempuan ‘nakal’ dan suka bepergian hingga larut malam. Menghindari keluar rumah di malam hari dianggap menjadi solusi agar tidak terkena kekerasan seksual.

Faktanya, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di malam hari. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Rumah Ruang Publik Aman, kekerasan seksual justru paling banyak terjadi di siang hari, yaitu sebanyak 35 persen. 25 persen responden mengalami kekerasan seksual di sore hari, 21 persen responden mengalami kekerasan seksual di malam hari, dan 17 persen responden mengalami kekerasan seksual di pagi hari.

Artinya, kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, tidak selalu di malam hari. Siang hari dimana masyarakat ramai beraktivitas menjadi waktu terbanyak perilaku kekerasan seksual terjadi.

Pakaian Korban Kekerasan Seksual

Stigma yang paling banyak diterima oleh korban kekerasan seksual adalah terkait dengan pakaiannya. Setiap korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya, pertanyaan yang sering disampaikan adalah pakaian yang digunakan saat kejadian.

Menurut survei dari KRPA, mayoritas korban memakai pakaian tertutup ketika mengalami pelecehan. 17,47 persen korban mengenakan rok atau celana panjang, 15,82 persen korban mengenakan baju lengan panjang, 14,23 persen korban mengenakan seragam sekolah.

Yang membuat mencengangkan adalah, banyak korban justru menggunakan seragam sekolah. Hasil survei ini memiliki benang merah mengenai mayoritas usia korban kekerasan seksual, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi pada anak dibawah umur.

Kekerasan Seksual Terjadi karena Pelaku

Berdasarkan survei di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual tidak ada kaitannya dengan keluar malam maupun pakaian terbuka. Pelakunya juga tidak selalu orang asing, justru kebanyakan orang terdekat yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual terjadi sepenuhnya karena tindakan pelaku.

Edukasi mengenai seksualitas menjadi penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Bukan hanya mencegah seseorang menjadi korban, melainkan juga mencegah seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual.

Penulis: Kristina Jessica
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Bangga Buatan Indonesia: Media Sosial Dorong Anak Muda Pilih Produk Lokal

Sebanyak 69,3% anak muda Indonesia mengaku mengikuti influencer yang sering mempromosikan produk lokal di media sosial.

Transportasi Online Sebagai Teman Setia Anak Muda di Era Modern

Survei terbaru menunjukkan bahwa 53,73% anak muda menggunakan transportasi online 1-2 kali seminggu, 79,6% responden juga lebih memilih menggunakan motor.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook