Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia kembali mengalami penurunan pada tahun 2024, menempatkan kebebasan pers nasional dalam posisi yang kian rentan. Setelah sempat mencapai kategori "cukup bebas" dengan angka tertinggi pada tahun 2022, IKP kini menurun drastis menjadi 69,36, memperlihatkan tantangan baru yang harus dihadapi dunia pers Indonesia.
Dewan Pers mencatat bahwa lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang semakin menekan, ditambah dengan ketergantungan media pada iklan pemerintah, menjadi beberapa faktor utama yang mempengaruhi kondisi kebebasan pers nasional.
Indeks Kemerdekaan Pers Nasional Tahun 2016-2024
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Indonesia menunjukkan tren penurunan pada tahun 2024, di mana nilainya mencapai 69,36. Berdasarkan survei Dewan Pers, angka ini menempatkan Indonesia dalam kategori "cukup bebas" dalam skala kebebasan pers, yang mencakup 70-89 poin.
Hal ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana IKP berada pada tren kenaikan yang stabil. Pada 2022, IKP mencapai puncaknya di angka 77,88—poin tertinggi sebelum kemudian menurun menjadi 71,57 di tahun 2023 dan kembali turun di tahun 2024.
Indeks ini dihitung dari nilai rata-rata IKP di 38 provinsi yang memiliki bobot 70%, dan dari Dewan Penyelia Nasional yang memiliki bobot 30%. Proses survei dilakukan dengan melibatkan 340 informan ahli di seluruh provinsi. Adapun variabel lingkungan ekonomi, politik, dan hukum turut diperhitungkan dalam penilaian ini.
Pada tahun 2019, IKP mencatat kenaikan tertinggi, yaitu sebesar 4,71 poin dibandingkan tahun sebelumnya, dan masuk dalam kategori "cukup bebas." Namun, pada 2024, penurunan yang terjadi mengindikasikan bahwa lingkungan kebebasan pers sedang menghadapi tantangan yang signifikan.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan bahwa penurunan ini menjadi indikator bahwa kondisi kebebasan pers di Indonesia tengah menghadapi tantangan signifikan.
“Penurunan angka IKP itu memperlihatkan, bahwa kondisi pers nasional tidak sedang baik-baik saja. Hal itu bisa dilihat dari lingkungan ekonomi, hukum, maupun politik yang berpengaruh terhadap angka IKP nasional,” ujar Ninik, melalui laman resmi Dewan Pers.
Ketergantungan media pada iklan pemerintah daerah berdampak pada independensi jurnalis dalam melakukan kontrol sosial. Hal ini diperparah dengan penurunan pendapatan iklan di media massa, di mana anggaran belanja iklan pemerintah kini lebih banyak dialihkan ke media sosial. Ninik menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan belanja iklan di media nasional untuk mendukung keberlangsungan dan profesionalitas pers.
Baca Juga: Indeks Kemerdekaan Pers Nasional Kembali Turun, Mana Provinsi dengan Indeks Terendah?
Peringkat Kebebasan Pers di Negara Asia Tenggara 2018-2024
Tak hanya penurunan skor IKP, berdasarkan laporan terbaru Reporters Without Borders (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara, yang menandakan penurunan dari tahun 2023 di posisi ke-108.
Penurunan peringkat ini jelas terlihat dari jurnalis Indonesia yang masih menghadapi tantangan besar dalam bekerja di lingkungan yang tidak aman. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Timor Leste, yang menduduki peringkat ke-20, serta Thailand yang berada di posisi ke-87 pada 2024 ini.
Berikut tabel peringkat kebebasan pers tiap negara Asia Tenggara 2018-2024.
Tahun | Indonesia | Timor Leste | Filipina | Myanmar | Thailand | Kamboja | Malaysia | Singapura | Brunei | Laos | Vietnam |
2018 | 124 | 95 | 133 | 137 | 140 | 142 | 145 | 151 | 153 | 170 | 175 |
2019 | 124 | 84 | 134 | 138 | 136 | 143 | 123 | 151 | 152 | 171 | 176 |
2020 | 119 | 78 | 136 | 139 | 140 | 144 | 101 | 158 | 152 | 172 | 175 |
2021 | 113 | 71 | 138 | 140 | 137 | 144 | 119 | 160 | 154 | 172 | 175 |
2022 | 117 | 17 | 147 | 176 | 115 | 143 | 113 | 139 | 144 | 161 | 174 |
2023 | 108 | 10 | 132 | 173 | 106 | 147 | 73 | 129 | 142 | 160 | 178 |
2024 | 111 | 20 | 134 | 171 | 87 | 151 | 107 | 126 | 117 | 153 | 174 |
Pada 2022, sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, mengungkapkan bahwa situasi bagi jurnalis Indonesia masih terbilang sulit. Data AJI menunjukkan terdapat 61 kasus serangan terhadap jurnalis pada 2022, yang mencakup serangan fisik, digital, dan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
“Kami melihat justru ada peningkatan serangan terhadap jurnalis maupun organisasi media. Di tahun 2022 berdasarkan data yang kami kumpulkan itu terjadi 61 kasus serangan dengan jumlah korban jurnalis mencapai 97. Kemudian, organisasi media ada 14. Kalau melihat angka kasus serangan justru di tahun 2022 kami melihat ada peningkatan dibandingkan dua tahun lalu,” ujar Ika seperti yang dikutip dari VOA.
Impunitas juga menjadi masalah, dengan banyak kasus kekerasan yang belum terselesaikan atau tidak ditindaklanjuti. Dalam hal ini, peran kepolisian menjadi sorotan karena sering kali pelaku kekerasan berasal dari institusi tersebut, yang ironisnya justru seharusnya melindungi jurnalis.
Selain itu, regulasi di Indonesia juga dianggap memperburuk kondisi kebebasan pers. Beberapa undang-undang, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Data Pribadi, dan UU KUHP baru, dinilai sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan, “Dengan banyak regulasi yang menghambat, membuat kondisi kerja jurnalis semakin sulit dari aspek ketenagakerjaan hingga kegiatan jurnalistiknya.”
Regulasi yang tidak pro terhadap kebebasan pers serta impunitas pelaku kekerasan menjadi tantangan besar bagi jurnalis. AJI mencatat bahwa aktor negara, terutama polisi, sering kali menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis, dengan banyak kasus yang tidak diadili.
Baca Juga: Indeks Kemerdekaan Pers 2023 Turun: Kantor Redaksi Jubi Papua Diteror Bom Molotov
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor