Di tengah banyaknya janji akan perlindungan hak anak, kenyataan di lapangan masih menampilkan ironi. Masih banyak anak-anak Indonesia yang harus menukar masa kecil mereka dengan beban pekerjaan yang semestinya bukan menjadi tanggungannya, waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk menimba ilmu malah digunakan untuk mencari uang menyambung hidup. Kebanyakan bekerja bukan karena pilihan, melainkan keterpaksaan atas dorongan ekonomi, akses pendidikan yang belum merata, hingga perlindungan sosial yang minim.
Pada 2024, pekerja anak di Indonesia kembali meningkat, menegaskan bahwa upaya penghapusan praktik ini masih dihadapkan dengan tantangan serius, apalagi di wilayah rentan kemiskinan. Sering dibangga-banggakan sebagai generasi emas penerus bangsa, masih ada anak-anak Indonesia yang harus kehilangan hak dasarnya untuk bisa belajar dan bermain. Tidak hanya melewatkan kesempatan belajar, anak-anak ini juga berisiko masuk ke lingkaran kemiskinan yang sulit terputus dari generasi ke generasi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 2,85% anak berusia 10-17 tahun yang sudah bekerja. Proporsi ini naik dari tahun 2023 yang sebesar 2,39%.
Pada 2020, persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja mencapai 3,25%. Proporsinya sempat turun pada 2021 menjadi 2,63%. Tren positif ini berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Pada 2022, proporsinya turun menjadi 2,44% dan turun lagi menjadi 2,39% pada 2023. Sayangnya, persentase pekerja anak kembali naik pada 2024.
Adapun menurut UU Ketenagakerjaan, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Aturan tersebut menegaskan bahwa pemberi kerja dilarang mempekerjakan anak. Dengan kata lain, batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia adalah 18 tahun. Meski begitu, ada beberapa aturan khusus yang memperbolehkan anak bekerja. Anak usia 13 sampai 15 tahun boleh bekerja ringan selama pekerjaan tersebut tidak mengganggu perkembangan kesehatan, fisik, mental, dan sosial si anak.
Ada syarat yang harus dipenuhi perusahaan untuk mempekerjakan anak, seperti izin tertulis dari wali/orang tua, waktu kerja maksimal 3 jam per hari, hanya boleh bekerja di siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, serta menerima upah sesuai aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, UU Nomor 1 Tahun 2000 menegaskan bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk anak, seperti segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis, pelacuran dan pornografi, kegiatan haram seperti perdagangan obat-obatan, hingga pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan moral anak.
Pada akhirnya, kondisi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan manusia tidak dapat hanya diukur semata dari pertumbuhan ekonomi atau indikator makro lainnya, melainkan juga sejauh mana suatu negara dapat melindungi anak-anak sebagai generasi penerusnya. Isu pekerja anak bukan sekadar fenomena sosial, namun juga menjadi cermin dari kegagalan dalam menjamin keadilan, perlindungan, dan kesetaraan bagi seluruh anak di Indonesia. Penting bagi seluruh pihak untuk bekerja sama menghasilkan upaya kolektif untuk mendorong penghapusan pekerja anak, bukan hanya teori, namun juga wujud komitmen nyata.
Bertepatan dengan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni lalu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyampaikan kritiknya atas fenomena pekerja anak di Indonesia.
"Anak-anak berusia di bawah 17 tahun berhak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan mendapatkan perlindungan serta kasih sayang dari orang dewasa," ujar Khofifah dalam keterangan resmi, Kamis (12/6/2025), dikutip Antara.
“Anak-anak, terutama yang masih duduk di bangku SD dan SMP, seharusnya berada dalam masa bermain, belajar, dan berkembang. Situasi ini harus menjadi perhatian serius semua pihak,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia berkomitmen untuk menghapus segala bentuk pekerja anak melalui berbagai langkah, seperti pencegahan, penarikan anak dari tempat kerja, dan pengembalian anak ke bangku sekolah. Ia turut menekankan pentingnya kolaborasi antar semua pihak terlibat, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pelaku usaha dalam mewujudkan Indonesia yang bebas pekerja anak.
“Kami tidak bisa berjalan sendiri. Seluruh pihak harus bergerak bersama. Segera laporkan jika melihat adanya eksploitasi anak, demi mewujudkan Indonesia Emas 2045,” tegas Khofifah.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor