Mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya secara substansial menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan dan merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di bidang penegakan hukum.
Strategi nasional pencegahan korupsi secara terperinci diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2018 yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pencegahan korupsi di Indonesia.
Dua kemungkinan utama dari penyebab maraknya korupsi di Indonesia ialah rendahnya integritas para pelaku serta masyarakat yang cenderung permisif. Di balik itu, masih banyak lagi faktor pendukung tingginya kasus korupsi di Indonesia.
Untuk mengukur perilaku anti korupsi di masyarakat, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun sebuah indikator yakni Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). IPAK sendiri mengukur tingkat permisifitas masyarakat terhadap perilaku anti korupsi yang mencakup 3 fenomena utama korupsi. Ketiga fenomena tersebut di antaranya ialah penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism).
Pengukuran IPAK terdiri dari 2 dimensi yakni persepsi dan pengalaman. Dimensi persepsi bertujuan untuk melihat penilaian atau pendapat terhadap kebiasaan perilaku anti korupsi di masyarakat. Sementara, dimensi pengalaman bertujuan untuk melihat perilaku anti korupsi dari sisi pengalaman masyarakat ketika menggunakan atau berinteraksi dengan layanan publik dan pengalaman lainnya.
Meninjau Statistik Kepala Desa di Indonesia 2021
Tren anti korupsi cenderung meningkat, tertinggi tahun 2021
Hasil survei BPS menunjukkan bahwa nilai IPAK sepanjang kurun waktu 2012 hingga 2021 berfluktuasi. Sebuah catatan positif, nilai IPAK mencapai rekor terbaik pada tahun 2021 yang mencapai 3,88.
Hal ini menandakan bahwa masyarakat semakin pro tindakan anti korupsi. Sementara bila ditinjau berdasarkan dimensi, dimensi persepsi memperoleh nilai sebesar 3,83 dan dimensi pengalaman sebesar 3,90.
Indeks dimensi persepsi pada tahun 2021 kembali mengalami peningkatan setelah 2 tahun sebelumnya terus mengalami penurunan. Nilai dimensi persepsi mencapai 3,83 pada 2021, meningkat dibandingkan pada tahun 2020 yang memiliki nilai sebesar 3,68.
Sementara itu indeks dimensi pengalaman justru mengalami sedikit penurunan pada tahun 2021 dari yang sebelumnya memiliki nilai 3,91 pada tahun 2020 menjadi 3,90. Nilai indeks dimensi pengalaman sempat mengalami peningkatan cukup tajam pada tahun 2020 dari capaian tahun 2019 yang memiliki nilai sebesar 3,65.
Sebelumnya pada tahun 2012, nilai IPAK masyarakat Indonesia berada di angka 3,55. Kemudian pada tahun 2013, nilai IPAK meningkat ke angka 3,63. Namun setelah itu, nilai IPAK terus menurun hingga mencapai 3,59 pada tahun 2015.
IPAK kembali meningkat pada tahun 2017 ke angka 3,71 namun kembali menurun pada tahun 2018 menjadi 3,66. Setelah tahun 2018, nilai IPAK terus beranjak hingga pada tahun 2021 mencapai puncaknya yakni sebesar 3,88.
Meskipun berfluktuasi, secara umum nilai IPAK menunjukkan tren peningkatan dalam kurun waktu tahun 2012 hingga pengukuran terakhir pada tahun 2021.
Daftar Negara Paling Percaya Terhadap Media 2022, Indonesia Urutan Berapa?
Masyarakat perkotaan, berusia muda, serta berpendidikan tinggi lebih anti korupsi
BPS mengungkapkan bahwa masyarakat perkotaan cenderung lebih mudah terpapar informasi terkait anti korupsi dibandingkan masyarakat perdesaan. Hal itu kemudian memengaruhi perbedaan tingkat persepsi perilaku anti korupsi antar masyarakat perkotaan dengan perdesaan.
Hasilnya, terdapat perbedaan nilai IPAK antara masyarakat perkotaan dengan perdesaan di mana nilai IPAK pada masyarakat perkotaan lebih tinggi secara konsisten daripada masyarakat perdesaan dalam kurun waktu tahun 2012 hingga 2021.
Adapun nilai IPAK masyarakat perkotaan pada 2021 menyentuh angka 3,92. Raihan ini menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun. Sementara itu, nilai IPAK masyarakat perdesaan pada 2021 ialah sebesar 3,83.
Angka ini juga merupakan rekor tertinggi yang diraih oleh masyarakat perdesaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tingkat penetrasi persepsi perilaku anti korupsi meningkat secara signifikan bila dibandingkan tahun 2012 yang hanya mencapai 3,46.
Bila meninjau dari segi usia, penduduk berusia lanjut yakni 60 tahun ke atas lebih permisif terhadap perilaku anti korupsi dibandingkan penduduk berusia lebih muda. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IPAK kelompok usia 60 tahun ke atas yang lebih rendah dibandingkan kelompok usia lebih muda.
Meskipun demikian, terdapat peningkatan nilai IPAK yang cukup signifikan pada kelompok usia lanjut hingga 2021. Bila dibandingkan dengan tahun 2012 di mana nilai IPAK pada lansia ialah sebesar 3,45, nilai IPAK kelompok lansia pada 2021 melambung ke angka 3,87 meskipun perkembangannya cukup fluktuatif pada tahun-tahun sebelumnya.
Kemudian dari segi pendidikan, semakin tinggi pendidikan masyarakat maka akan cenderung semakin anti korupsi. Data BPS menunjukkan dalam kurun waktu 2012 hingga 2021, masyarakat dengan tingkat pendidikan di atas Sekolah Menengah Atas (SMA) se-derajat memiliki nilai IPAK yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih rendah.
Namun sama halnya dengan perkara di atas, nilai IPAK masyarakat yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-derajat ke bawah cenderung mengalami peningkatan yang signifikan antara tahun 2012 hingga 2021. Adapun nilai IPAK lulusan SMP ke bawah pada 2012 ialah sebesar 3,47 dibandingkan dengan tahun 2021 yang melesat ke angka 3,83.
Adanya hasil survei IPAK menjadi pengingat bahwa nilai dan budaya anti korupsi penting untuk ditanamkan sejak dini. Terutama pada generasi muda sebagai penerus bangsa yang akan menjalankan berbagai peran penting dalam masyarakat di berbagai sektor.
Seberapa Besar "The Power of Netizen Indonesia" di Instagram?
Penulis: Diva Angelia
Editor: Editor