Sosial media beberapa waktu lalu tengah dihebohkan dengan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh pasangan artis ternama di Indonesia, yakni Lesti Kejora oleh suaminya Rizky Billar.
Diketahui Lesti Kejora melaporkan suaminya atas tuduhan tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh sang suami pada Rabu, 28 September 2022 lalu. Pihak Lesti pada saat itu mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan untuk membuat laporan polisi terhadap kasus kekerasan oleh suaminya. Terbukti, berdasarkan hasil visum yang dilakukan terdapat bukti dan fakta adanya tindakan kekerasan.
Mengutip CNN, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan selain menyimpan hasil bukti hasil visum pihaknya juga menyita dua buah flashdisk yang berisi rekaman CCTV di kediaman Rizky dan Lesti.
"Berisikan CCTV di area depan kamar dan luar rumah korban saudari Lestiani yang juga tersangka yaitu Muhammad Rizki di Jalan Garu 3 nomor 10 Cilandak Jakarta Selatan," sebut Endra Zulpan melalui CNN pada Kamis (13/10).
Rizky Billar resmi menjadi tersangka pelaku KDRT, karena melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dengan ancaman pidana lima tahun penjara. Pihak polisi telah menahan Rizky pada 20 hari guna membuat efek jera.
Namun, belum lama sang pelaku mendekam di penjara pihak Lesti kemudian mencabut laporan gugatannya. Alasan Lesti Kejora cabut laporan berangkat dari keputusannya demi mempertahankan keberlangsungan rumah tangga. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Hotma Sitompul selaku kuasa hukum Rizky Billar. Hotma menyampaikan sudah tertera dalam surat perjanjian kesepakatan, kedua belah pihak memutuskan untuk berdamai pada Jumat 14 Oktober 2022.
Keputusan tersebut banyak mendatangkan respon dari berbagai pihak hingga lembaga pemerhati perempuan. Dalam hal ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, alasan Lesti kejora yang mencabut laporannya perlu dicek lebih lanjut.
Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Veryanto Sitohang kepada Kompas mengatakan, pencabutan laporan ini dapat membuat publik berpikir bahwa pelaku KDRT mendapat pembebasan atas hukuman meski sudah menyakiti korban. Lebih lanjut, Veryanto menyarankan untuk memastikan kasus ini tidak terulang di masa yang akan datang dan fokus untuk melakukan pemulihan terhadap korban.
"Perlu ada langkah-langkah untuk memastikan ini tidak berhenti pada situasi itu. Penting untuk pemulihan LK diperhatikan, kan LK sampai dirawat di rumah sakit," sebut Veryanto kepada Kompas, pada Jumat (14/10).
Lebih lanjut, Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu 2021) yang dirilis pada 8 Maret 2022 mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal terkhusus kekerasan rumah tangga masih tinggi.
Kasus kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di ranah personal
Data Catahu 2021 mengatakan, ranah kekerasan tertinggi yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan masih terjadi di ranah personal. Kekerasan berbasis gender (KBG) di ranah personal adalah kekerasan yang dialami perempuan dalam ruang privat dengan pelaku orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim dengan korban.
Adapun, total kasus KBG di ranah personal yang dilaporkan ke Komnas Perempuan mencapai 2.527 kasus sepanjang 2021.
Berdasarkan jumlah tersebut, jenis kasus terbanyak adalah kekerasan oleh mantan pacar, yakni mencapai 813 kasus atau 32,2 persen dari total pengaduan.
Kemudian, beberapa kekerasan juga terjadi terhadap istri sejumlah 771 kasus. Disusul dengan kekerasan dalam pacaran (463 kasus), kekerasan terhadap anak perempuan (212 kasus), dan KDRT/RP terhadap menantu, sepupu, kakak/adik ipar atau kerabat lain (171 kasus).
Bercermin dengan adanya kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar, Indonesia perlu melakukan perubahan. Guna menekan angka kekerasan terhadap perempuan perlu adanya keterbukaan dan ketersediaan data yang lengkap dan akurat guna menjadi kebutuhan dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan terhadap perempuan.
27 Ribu lebih perempuan mengalami kekerasan pada 2021
Secara khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik (KemenPPPA) beserta Komnas Perempuan, dan Forum Pengada Layanan (FPL) bersinergi untuk menyediakan database kekerasan terhadap perempuan.
Mengutip dalam rilis KemenPPPA tercatat terdapat 27.335 perempuan yang menjadi korban kekerasan sepanjang 2021. Jumlah kasus tersebut berasal dari data tiga lembaga, yakni Sinfoni PPA 21.758 orang, Sintaspuan KP 4.010 orang, dan Titian Perempuan FPL 1.567 orang.
Selama periode Juli-Desember 2021, data KemenPPPA menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual, sedangkan dari Komnas Perempuan dan FPL mencatat kekerasan psikis jadi kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan.
Secara geografis, tiga provinsi di Indonesia, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menjadi wilayah dengan pelaporan kekerasan terhadap perempuan paling tinggi. Adapun, kelompok korban terhadap perempuan tertinggi ada pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya