Publik RI Khawatir Akan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan TNI

Lebih dari 65% responden mengungkapkan kekhawatirannya akan potensi tumpang tindih kewenangan di badan TNI akibat pengesahan revisi UU 34/2004.

Publik RI Khawatir Akan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan TNI Ilustrasi TNI | AP Photo
Ukuran Fon:

Pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pada rapat Paripurna DPR pada Kamis (20/3/2025) membawa sejumlah kekhawatiran di tengah masyarakat. Terdapat 3 pasal yang direvisi dalam UU tersebut, dan salah satu yang disorot adalah revisi pasal 47 ayat (2) yang mengatur jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif. 

Semula, prajurit aktif tercatat dapat menduduki 10 jabatan sipil, termasuk di antaranya Mahkamah Agung, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Sandi Negara, hingga Lembaga Ketahanan Nasional. Namun hasil revisi terbaru menunjukkan terdapat 14 jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, dengan tambahan Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Aksi penolakan sempat terjadi di Jakarta. Ratusan mahasiswa dan warga sipil bergulir memenuhi kompleks DPR, menyuarakan keberatan mereka atas pengesahan UU ini. Tidak hanya di Jakarta, sejumlah kota besar lain seperti Bandung, Makassar, Yogyakarta, Medan, dan Manado juga dipenuhi aksi unjuk rasa. 

Menurut hasil survei Litbang Kompas, pengesahan UU ini membuat banyak warga Indonesia khawatir, terutama akan adanya potensi tumpang tindih kewenangan akibat masuknya TNI ke lembaga sipil. 

Tingkat kekhawatiran publik Indonesia terhadap potensi tumpang tindih kewenangan TNI | GoodStats
Tingkat kekhawatiran publik Indonesia terhadap potensi tumpang tindih kewenangan TNI | GoodStats

Jika dirinci lebih lanjut, sebanyak 54,1% responden mengaku khawatir akan adanya potensi tumpang tindih kewenangan di badan TNI, dan 14,5% responden menyatakan sangat khawatir.

Sebaliknya, terdapat 28,2% responden yang mengaku tidak khawatir dan 0,9% sangat tidak khawatir. Tercatat 2,3% responden menyatakan tidak tahu.

Lebih lanjut, sebagian responden menyebutkan bahwa masuknya TNI ke lembaga sipil bahkan mengganggu praktik demokrasi. Sebanyak 46,8% responden berpendapat demikian, sedangkan 49,7% responden mengaku hal ini takkan mengganggu demokrasi dalam negeri.

Adapun survei Litbang Kompas ini dilakukan pada 17-20 Maret 2025 dengan melibatkan 535 responden dari 38 provinsi yang dipilih secara acak sesuai proporsi penduduk. Survei dilakukan melalui wawancara telepon dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan margin of error di angka 4,25%.

Pasal Bermasalah Lain

Selain revisi pada pasal 47, terdapat revisi pada pasal 7 ayat (2) yang mengatur tugas pokok operasi militer selain perang. Revisi ini menambah 2 tugas pokok TNI, yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi serta menyelamatkan warga negara di luar negeri.

Pasal lain yang turut direvisi adalah pasal 53 yang mengatur usia pensiun prajurit TNI. semula, usia pensiun ditetapkan sebesar 58 tahun untuk perwira dan 53 tahun untuk bintara dan tamtama. Revisi yang dilakukan menambah usia pensiun bintara dan tamtama menjadi 55 tahun, dan perwira menjadi paling tinggi 62 tahun sesuai dengan tingkat jabatannya.

Baca Juga: Benarkah Indonesia Kelebihan Perwira Tinggi dan Kolonel TNI?

Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor

Konten Terkait

Kekerasan Anak kerap Terjadi, Jawa Barat Catat Kasus Terbanyak Sepanjang 2024

Kasus kekerasan anak di Indonesia banyak ditemui terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk anak, yaitu rumah.

Tergerus Toko Online, Benarkah Bisnis Mal Mulai Jatuh?

Semakin banyak pusat perbelanjaan yang sepi, didorong oleh perubahan pola belanja masyarakat yang lebih menggemari belanja online.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook