Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, saat ini Indonesia hanya mampu “mencetak” kurang lebih 2.700 dokter spesialis tiap tahun. Capaian ini masih sangat jauh dari target, yaitu menambah 32.000 dokter spesialis setiap tahunnya.
Akibatnya, terjadi hambatan dalam penyediaan layanan kesehatan dan penanganan penyakit katastropik, seperti stroke, kanker, jantung, dan gagal ginjal. Bukan hanya jumlahnya yang jauh dari target, distribusi dokter spesialis juga masih belum merata.
Per 1 Mei 2025, jumlah tenaga medis yang ter-registrasi aktif di Indonesia berjumlah 267.001 orang. Dari jumlah tersebut, 164.876 orang merupakan dokter, 52.929 dokter spesialis, 43.429 dokter gigi, dan 5.767 dokter gigi spesialis.
Akan tetapi, masih tampak jelas perbedaan jumlah tenaga medis di Indonesia, yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
“Kenapa nggak ada dokter disana (Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK))? Karena sentra pendidikan kita di Jawa, pesertanya pun kebanyakan orang Jawa,” tutur Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja Bersama Komisi IX DPR RI (29/4).
Indonesia Perlu Cara Baru untuk Cetak Dokter Spesialis
Menteri Kesehatan mengungkapkan, salah satu hambatan dalam menambah dokter spesialis di Indonesia adalah cara rekrutmennya.
“Di semua negara, pendidikan spesialis adalah pendidikan profesi. Di Indonesia, itu adalah pendidikan akademik. Itu membuat prosesnya berbeda dan kecepatan produksinya juga jauh berbeda,” tutur Budi.
Selain itu, menurut Kementerian Kesehatan, pendidikan spesialis di Indonesia terlalu mahal, sehingga hanya dapat diterima oleh orang-orang dengan ekonomi kelas atas. Masalah lainnya, tidak banyak tenaga medis yang akhirnya mau bekerja di daerah lain, terutama daerah 3T.
Sebelumnya, Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) diluncurkan untuk meratakan distribusi. Sayangnya, hanya 16% lulusan dokter spesialis setiap tahunnya yang berpartisipasi dalam program ini.
Hal ini menunjukkan rendahnya minat dokter spesialis untuk bekerja di DTPK.
Untuk menutup hal itu, Kementerian Kesehatan mengatur proses rekrutmen baru, yaitu dengan merekrut dokter-dokter di daerah untuk melakukan pendidikan spesialis. Program ini sudah dijalankan sejak paruh kedua 2024 lalu.
Peserta PPDS di RSPPU akan mendapatkan sejumlah manfaat, yaitu tidak perlu membayar uang kuliah, berstatus pegawai RSPPU, dan mendapat bantuan biaya hidup Rp5-10 juta per bulan.
PPDS berbasis Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSPPU) atau hospital based ini diadopsi dari beberapa negara lain, seperti Inggris, Singapura, dan Amerika Serikat.
Sistem PPDS hospital based ini berjalan beriringan dengan PPDS yang saat ini dijalankan oleh universitas.
Indonesia tengah membangun 66 rumah sakit di sejumlah kabupaten/kota, dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dan modern. Untuk itu, kuantitas ideal dari tenaga medis juga diperlukan untuk memberikan layanan optimal.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor