Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan akses keuangan yang mudah dan cepat, penggunaan pinjaman online (pinjol) di Indonesia semakin berkembang pesat. Pinjol menawarkan solusi instan untuk mendapatkan uang tanpa perlu jaminan besar. Sayangnya, di balik kemudahan ini, muncul masalah serius yang menjadi perhatian, yakni tingginya peminjam yang gagal membayar kembali utangnya.
Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa total nilai pinjol mencapai Rp79,97 triliun pada Maret 2025. Angka ini merupakan total outstanding loan, yang merupakan nilai total pinjaman pokok yang belum dilunasi. Dari nilai tersebut, sebanyak 2,77% sudah masuk gagal bayar atau wanprestasi 90 hari, yang berarti pinjaman tidak dikembalikan selama lebih dari 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Nominalnya mencapai Rp2,22 triliun.
Menariknya, kasus gagal bayar ini lebih banyak ditemukan di kalangan perempuan, mencapai 404,2 ribu rekening dengan nilai gagal bayar sebesar Rp849,24 miliar, sedangkan di kalangan pria sebesar 385,7 ribu rekening dengan nilai Rp803,88 miliar.
Mirisnya, banyak anak muda yang mengambil pinjol dan masuk status gagal bayar. Per Maret 2025, terdapat 20,4 ribu rekening dengan nilai gagal bayar Rp4,16 miliar untuk pengguna di bawah 19 tahun dan 467,9 ribu rekening senilai Rp794,41 miliar untuk pengguna usia 19-34 tahun.
Ditinjau dari provinsinya, Nusa Tenggara Barat mempunyai tingkat gagal bayar tertinggi di Indonesia.
Per Maret 2025, tingkat gagal bayar pinjol di Nusa Tenggara Barat mencapai 4,08%. Hal ini berarti, 4 dari 100 pengguna pinjol di provinsi tersebut gagal membayar utang lebih dari 90 hari setelah jatuh tempo. OJK sendiri menetapkan batas wajar kredit macet sebesar 5%.
Adapun Sumatra Barat berada di posisi kedua dengan 3,4%, disusul Jawa BArat dengan 3,34% dan DKI Jakarta dengan 3,08%.
Sebaliknya, provinsi dengan tingkat gagal bayar terendah berada di Maluku Utara dengan 0,84%, diikuti oleh Maluku dengan 0,85% dan Papua Pegunungan dengan 0,95%.
Capai 780 Ribu Entitas
Sejalan dengan itu, jumlah pengguna pinjol yang gagal bayar juga meningkat pada Kuartal I 2025 ini. OJK mencatat pada Januari-Desember 2024, terdapat sekitar 500 ribu entitas per bulan yang gagal mengembalikan pinjaman selama lebih dari 90 hari setelah jatuh tempo. Jumlah tersebut melonjak ke kisaran 780 ribu entitas pada tahun ini.
Rinciannya, pada Januari 2025, terdapat 782 ribu entitas gagal bayar, turun tipis menjadi 777 ribu pada Februari, kemudian kembali naik mencapai 789 ribu entitas pada Maret 2025.
Malah Viral?
Gerakan gagal bayar pinjol atau bisa disingkat sebagai galbay belakangan ini malah jadi viral di media sosial. Seruan untuk sengaja tidak membayar tagihan pinjol lahir dari perlawanan akan praktik penagihan utang yang dinilai meresahkan. Meski tujuannya baik, gerakan ini malah merugikan industri dan masyarakat.
Aksi gagal bayar ini lahir dari banyaknya pengguna pinjol yang menjadi korban penipuan, dengan tingginya bunga yang dikenakan dan penyalahgunaan data pribadi oleh sejumlah platform.
Menanggapi hal ini, OJK mengajak masyarakat untuk bisa lebih bijak menggunakan layanan pinjol yang tersedia.
“OJK mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas pendanaan dari penyelenggara pindar, termasuk agar tidak melakukan langkah-langkah untuk sengaja tidak membayar utang terhadap penyelenggara pindar,” ujar pelaksana tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, melalui keterangan resmi, Kamis (19/6/2025).
Sejalan dengan itu, Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menyatakan fenomena gagal bayar pinjaman online kini tengah marak di kalangan anak muda. Pengaruh media sosial jadi salah satu dorongan utama.
“Pihak yang mengajak masyarakat tidak bayar atau galbay di YouTube, di media sosial, dan sebagainya, kami lagi diskusikan dengan kepolisian,” ujar Entjik di Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025), mengutip Tempo.
Ia berharap pelaku yang menyebarkan ajakan ini bisa segera ditindak tegas, agar hal serupa tidak terjadi lagi ke depannya.
Baca Juga: Nilai Penyaluran Pinjol Capai Rp27 Triliun per Maret 2025
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor