Fenomena pekerja anak masih jadi PR besar bagi Indonesia. Anak-anak yang seharusnya bisa menikmati masa mudanya dengan bermain dan belajar, justru sudah menerima beban pekerjaan dan tanggung jawab yang seharusnya dipikul orang dewasa. Mereka kehilangan hak dasar untuk bisa tumbuh dan berkembang. Fenomena pekerja anak ini memperburuk wajah pendidikan tanah air.
Sayangnya, kebanyakan pekerja anak bekerja akibat tekanan ekonomi dan akses pendidikan yang belum merata. Mereka yang berada dalam garis kemiskinan terpaksa membantu keluarganya bekerja alih-alih belajar dan menimba ilmu layaknya anak-anak pada umumnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pekerja anak usia 10-17 tahun pada 2024 mencapai 2,85%, naik dari tahun 2023 yang sebesar 2,39%. Ini merupakan kenaikan pertama dalam 3 tahun terakhir.
Ditinjau menurut provinsinya, Nusa Tenggara Timur tercatat memiliki persentase pekerja anak tertinggi, mencapai 7,2% pada 2024.
Sulawesi Tenggara menyusul di posisi kedua provinsi dengan persentase pekerja anak tertinggi dengan 6,54%, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dengan 5,51%, Gorontalo dengan 5,39%, dan Sulawesi Selatan dengan 5,28%.
Sebaliknya, provinsi dengan pekerja anak terendah ada di Kepulauan Riau dengan hanya 1,38%, Aceh dengan 1,4%, dan Kalimantan Selatan dengan 1,92%.
Aturan Pekerja Anak di Indonesia
Menurut UU Ketenagakerjaan, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Aturan tersebut menegaskan bahwa pemberi kerja dilarang mempekerjakan anak. Dengan kata lain, batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia adalah 18 tahun. Meski begitu, ada beberapa aturan khusus yang memperbolehkan anak bekerja. Anak usia 13 sampai 15 tahun boleh bekerja ringan selama pekerjaan tersebut tidak mengganggu perkembangan kesehatan, fisik, mental, dan sosial si anak.
Ada syarat yang harus dipenuhi perusahaan untuk mempekerjakan anak, seperti izin tertulis dari wali/orang tua, waktu kerja maksimal 3 jam per hari, hanya boleh bekerja di siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, serta menerima upah sesuai aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, UU Nomor 1 Tahun 2000 menegaskan bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk anak, seperti segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis, pelacuran dan pornografi, kegiatan haram seperti perdagangan obat-obatan, hingga pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan moral anak.
Apresiasi untuk Pelaku Usaha
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) baru-baru ini menyelenggarakan Partnership for Action Against Child Labour in Agriculture (PAACLA) di Jakarta, Kamis (12/6/2025), guna memberikan penghargaan bagi pelaku usaha yang sudah menerapkan praktik inovatif dalam menghapus pekerja anak terutama di sektor pertanian.
Dalam acara tersebut, Plt. Asisten Deputi perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Kemenko PMK Nia Reviani menyebutkan bahwa pekerja anak adalah masalah pelanggaran hak asasi yang serius.
"Anak-anak seharusnya berada di sekolah, bermain, dan tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung, bukan bekerja dalam kondisi yang membahayakan kesehatan dan masa depan mereka. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan mendorong penguatan regulasi, edukasi masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi keluarga," ungkapnya.
Ke depannya, acara ini diharapkan dapat menginspirasi pelaku usaha lain dalam membangun ekosistem kerja yang bebas pekerja anak melalui kolaborasi antar sektor.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor