Jagat sosial media tengah dihebohkan dengan gugatan somasi yang dilayangkan kepada konsumen Es Teh Indonesia. Perusahaan yang berada dalam naungan PT Esteh Indonesia Makmur menganggap isi unggahan tersebut mengandung unsur penghinaan.
Berawal dari cuitan seorang pelanggan bernama Gandhi melalui akun Twitter bernama @gandhoyy yang menyampaikan komplain salah satu produk mereka. Cuitan tersebut mengatakan salah satu produk Es Teh Indonesia, Chizu Red Velvet mengandung gula tiga kilogram dan dinilai terlalu manis.
Tidak lama setelah postingan Gandhi diunggah, pihak Es Teh Indonesia memberikan respons berupa surat somasi atas aduan penghinaan pada Sabtu (24/9). Merespons hal tersebut, Gandhi kemudian mengunggah sebuah postingan permohonan maaf yang dilampirkan bersama dengan tangkapan layar surat somasi Es Teh Indonesia pada Minggu (25/9).
Sebelumnya, salah satu akun memberi peringatan postingan Gandhi bisa membawanya pada pelanggaran hukum UU ITE Pasal ayat (3) yang menyebut, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan /atau kelompok.
Merespon hal tersebut, banyak warganet yang justru mendukung tindakan Gandhi dan menyebut perusahaan Es Teh Indonesia yang dinilai tidak bisa menerima kritik. Tidak hanya itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi kepada Viva turut memberi respon serupa. Tulus mengatakan, sekeras apapun kritik konsumen tidak seharusnya pelaku usaha melakukan serangan balik berupa somasi atau langkah hukum lainnya.
“Somasi apalagi dengan laporan pidana dengan dalih pencemaran nama baik hanya akan meruntuhkan sikap kritis konsumen. Dan ini merupakan pembungkaman hak konsumen,” sebut Tulus kepada Viva, di Jakarta, Senin (26/9).
Kasus saling lapor menggunakan UU ITE memang bukanlah kali pertama di Indonesia. Keresahan ini juga turut dirasakan oleh Presiden Joko Widodo. Dia menyadari kebebasan berekspresi masyarakat di ranah digital semakin dibatasi. Hingga akhirnya pada awal 2021 lalu Jokowi mengungkapkan ingin merevisi pasal-pasal karet tersebut yang menjadi hulu dari penyalahgunaan regulasi UU ITE.
Janji tinggallah janji, hingga 2021 berakhir UU ITE tidak kunjung direvisi. Pemerintah pernah menawarkan solusi sementara melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai pedoman kriteria penerapan pasal UU ITE, tetapi wacana tersebut tidak mengurangi jumlah korban pengaduan pelanggaran UU ITE di Indonesia.
Ratusan orang terjerat UU ITE dalam 5 tahun terakhir
Merilis laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang bertajuk “Laporan Situasi Hak-Hak Digital 2021” terdapat 224 orang yang dituntut dengan pasal UU ITE sepanjang 2017-2021.
Dalam laporan tertulisnya SAFEnet mengatakan, tren pada tahun 2021 turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Setidaknya terdapat 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi. Jumlah tersebut turun dari 84 orang korban pada 2020.
Meski mengalami penurunan, SAFEnet menilai hal tersebut tidak serta-merta menunjukkan perbaikan dalam hak kebebasan berpendapat. Pasalnya, jika dilihat melalui latar belakang korban kriminalisasi dengan UU ITE paling banyak merujuk kepada para pembela hak asasi manusia (HAM) yang paling banyak menyuarakan kritik publik.
Berdasarkan latar belakang para korban pada 2021 berasal dari kalangan aktivis mencapai 10 orang atau 26,3 persen dari total korban. Lalu kemudian terdapat juga korban kekerasan dan pendampingnya sebanyak 8 orang (21,1 persen) dan kalangan warga 7 orang (18,4 persen). Disusul oleh kalangan jurnalis, organisasi masyarakat, buruh, mahasiswa, akademisi,hingga politisi.
Beberapa kasus pengaduan tersebut secara konsisten dapat menjadi bukti bahwa pasal karet UU ITE sering digunakan sewenang-wenang oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan ketimpangan relasi antara pelapor dengan korban.
SAFEnet mengatakan, para pejabat publik mulai dari setingkat ketua Rukun Tetangga (RT) hingga menteri tercatat menjadi pihak yang paling banyak menggunakan UU ITE dengan jumlah sebanyak 10 kasus atau 35,7%, disusul oleh petinggi institusi, pimpinan perusahaan dan organisasi sebanyak 9 kasus atau 32,1%, kemudian terduga pelaku kekerasan sebanyak 4 kasus (14,3%).
Delik “pencemaran nama baik” paling sering digunakan pelapor
Terkait dengan catatan pengaduan, para pelapor paling banyak menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berkaitan dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Terbukti dalam data, sepanjang 2021 terdapat 17 korban yang dilaporkan dengan pasal tersebut.
Kemudian, 6 korban dilaporkan dengan pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mencakup ancaman dan peringanan pidana terkait penghinaan/pencemaran nama baik. Lebih lanjut, dikatakan bahwa lamanya pemidanaan dapat berkurang dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun sedangkan denda dari semula 1 miliar menjadi 750 juta.
Peringkat 3 teratas terdapat 5 korban yang dijerat dengan UU ITE tanpa diperinci pasal yang digunakannya.
Selain UU ITE, para pelapor juga paling banyak menggunakan Pasal 14-15 UU No.1 tahun 1946 terkait Peraturan Hukum Pidana dua tahun penjara bagi seseorang yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, tidak lengkap, dan berlebihan.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya