Pers dunia di tahun 2023 menghadapi berbagai permasalahan yang ditandai dengan meningkatnya agresivitas dari para pejabat di beberapa negara dan meningkatnya sensor hingga permusuhan terhadap jurnalis.
Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RSF) tiap tahun, situasi global kini semakin berbahaya bagi para jurnalis. Dilaporkan, para jurnalis dunia kerap menerima ancaman politik, sosial, hingga teknologi/digital.
Laporan ini menilai kebebasan pers di 180 negara di seluruh dunia. Dari hasil riset, RSF menemukan bahwa 7 dari 10 negara di dunia memiliki keamanan jurnalisme yang “buruk”. Ini terbukti dari penurunan skor kebebasan pers di beberapa negara, seperti India yang tergelincir hingga menempati posisi ke-161 setelah kebijakan sensor oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.
Adapun berdasarkan laporan RSF, Korea Utara memiliki skor kebebasan pers terburuk di dunia dengan skor yang hanya sebesar 21,72 poin pada 2023. Saking buruknya sensor pers di negara ini, bahkan menurut RSF, Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) milik pemerintah menjadi satu-satunya sumber berita yang diizinkan untuk media Korea Utara.
Menyusul Korea Utara, China berada di peringkat kedua sebagai negara dengan indeks kebebasan terburuk di dunia, yakni hanya sebesar 22,97 poin. Mengutip RSF, China merupakan penjara besar bagi para jurnalis, di mana pemerintahnya gemar melakukan penindasan terhadap kebebasan informasi.
Semnetara itu, sebanyak tujuh jurnalis dan pekerja media di dunia dilaporkan telah terbunuh sepanjang periode Januari – awal Mei 2023. RSF melaporkan, dua wartawan dan pekerja media tewas di Afghanistan, satu wartawan tewas di Albania, satu di Kamerun, satu di India, satu di Ukraina, dan satu di Amerika Serikat.
Lebih lanjut, RSF dalam laporannya juga menyoroti efet dari konten palsu (fake content) terhadap kebebasan pers. Berdasarkan hasil kuisioner responden yang dibuat oleh RSF, sebagian besar (118 negara di dunia) melaporkan bahwa aktor politik di negara mereka secara sistematis terlibat dalam kampanye disinformasi atau propaganda besar-besaran.
Industri ini semakin diperparah oleh perkembangan pesat dari teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), seperti yang ditunjukkan oleh riset dari Forbidden Stories consortium. Menurut RSF, program AI mampu menghasilkan gambar atau ilustrasi tingkat tinggi yang cukup realistis dan dapat dipakai untuk menyebarkan konten manipulative atau disinformasi dalam skala besar.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya