Rasminah, perempuan yang mengadvokasikan pernikahan dini, meninggal dunia hari Sabtu (26/8) kemarin. Berkat usaha advokasi Rasminah dan dua perempuan korban pernikahan dini lainnya, Marsinah dan Endang Wasrinah, pemerintah mengubah aturan mengenai usia minimal perkawinan di bulan September 2019.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, usia minimal perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki. Setelah dilakukan uji materiil oleh MK, peraturan mengenai usia minimal perkawinan berubah menjadi 19 tahun baik perempuan maupun laki-laki, yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Meski demikian, pernikahan dini tetap banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari Ditjen Badan Peradilan Agama MA RI, ribuan permohonan dispensasi perkawinan masuk dan diberi putusan pengadilan.
Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, terdapat lebih dari 10 ribu permohonan dispensasi perkawinan tiap tahunnya. Artinya, lebih dari 10 ribu perempuan di bawah 16 tahun yang mendapat dispensasi pernikahan di Indonesia. Tahun 2019, kasus permohonan dispensasi perkawinan yang diputus pengadilan naik menjadi 20 ribu.
Tahun 2020, kasus pernikahan dini naik tiga kali lipat dibanding tahun 2019, yaitu sebanyak lebih dari 63 ribu. Tahun 2021, angka pernikahan dini menurun hingga 2022. Namun, jumlah pernikahan dini di tahun 2022 masih tinggi, yaitu sebanyak 50.747 kasus.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, dispensasi perkawinan dapat diberikan dengan syarat yang mendesak. Tidak hanya asal klaim, namun diperlukan beberapa bukti seperti surat keterangan dari orang tua kedua mempelai, serta surat keterangan dari saksi lain yang mendukung keterangan dari orang tua.
Faktor Tingginya Pernikahan Dini
Menurut Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas 17 Agustus Semarang, Indra Kertati, kasus pernikahan dini meningkat tajam dikarenakan jatuhnya ekonomi di masa pandemi. Indra juga menambahkan aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Tanpa pengawasan orang tua yang tepat, anak memiliki peluang terjerumus dalam pernikahan dini.
Manajer Advokasi dan Kampanye Yayasan Plan International Indonesia Bambang Wicaksono juga menyebutkan bahwa ketika seorang anak melihat lingkungan sekitarnya menikah di usia muda dan terlihat baik-baik saja di sosial media, mereka memiliki kecenderungan untuk mengikutinya. Mereka berpikir bahwa nikah muda menjadi solusi atas masalah hidup yang dialami.
Hal ini beriringan pula dengan anak-anak yang terkendala ekonomi untuk mengikuti pelajaran jarak jauh. Anak yang tidak dapat bersekolah karena tidak memiliki gadget, akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah dan menikah.
Penulis: Kristina Jessica
Editor: Iip M Aditiya