Kerugian negara yang timbul dari kasus dugaan korupsi timah periode 2015-2022 menembus angka Rp300 T. Angka ini keluar dari hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam laman Kejaksaan Story, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Ketut Sumedana merincikan kerugian ini berasal dari kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta, kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk, dan kerugian lingkungan.
Pada rilis yang sama, Ketut menyebut kerugian lingkungan capai nominal terbesar karena adanya penambangan bijih timah ilegal oleh para smelter/pihak swasta yang bekerja sama dengan oknum PT Timah Tbk di area IUP PT Timah Tbk. Penambangan ilegal ini pun mengakibatkan kerusakan lingkungan
Kerugian yang timbul dari kasus ini awalnya dihitung sebesar Rp271 triliun. Hitungan ini pun dianggap sebagai real loss atau actual loss oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Febrie Ardiansyah dalam keterangannya pada jumpa pers, Kamis (09/05/2024).
Besaran kerugian negara yang tercatat dalam kasus dugaan korupsi ini berbanding terbalik dengan nilai potensi kerugian negara di tahun 2023.
Berdasarkan laporan tahunan ICW, potensi kerugian negara pada 2023 mencapai Rp28,4 triliun, turun dari Rp42,7 triliun pada 2022. Nominal ini juga lebih rendah daripada kerugian pada tahun 2021, yang mencapai Rp29,4 triliun.
Puncak nilai potensi kerugian di tahun 2022 disoroti ICW terjadi karena disumbangkan dari beberapa kasus, salah satunya dari Kasus Dugaan Korupsi Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO). Potensi kerugian negara yang timbul dari kasus ini mencapai Rp18,3 triliun.
Dalam laporan ini, istilah 'potensi kerugian negara' digunakan ICW untuk menggambarkan nominal kerugian yang mungkin terjadi akibat korupsi. Angka ini berasal dari informasi kasus korupsi yang telah mencapai tahap penyidikan atau pra penuntutan.
Artinya, jumlah tersebut masih berupa perkiraan awal dan belum tentu mencerminkan kerugian aktual yang akan ditentukan dalam putusan pengadilan. Namun, penurunan yang terjadi tidak diikuti oleh tren peningkatan jumlah kasus dan tersangka korupsi di tahun 2023.
Dalam laporan tersebut, ICW tegaskan bahwa meskipun terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, potensi kerugian negara pada tahun 2023 tetap tergolong sangat besar.
Sebagai tindak pidana dengan motif ekonomi, kerugian ini dianggap dapat berdampak langsung pada kehidupan masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Besarnya potensi kerugian ini pun dinilai tunjukkan kelemahan dalam sistem pengelolaan keuangan negara, baik di tingkat pemerintah pusat, lembaga, maupun daerah, bahkan hingga pemerintah desa.
Untuk tahun ini, Diky Anandya, peneliti ICW mengiyakan adanya nilai potensi kerugian negara yang meningkat dari kerugian Rp300 T tersebut.
Dengan catatan, kejaksaan diminta perlu membuktikan kerugian tersebut, sehingga pengembalian kerugian negara perkara ini dapat terealisasikan.
"Jangan sampai kerugian sebesar Rp300 triliun tersebut hanya berhenti pada saat konferensi pers, tanpa ada upaya serius dalam perampasan asetnya," tambahnya saat dihubungi Goodstat, Senin (04/06).
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor