Belakangan ini, berbagai kasus korupsi semakin mencuat di hadapan publik.
Kasus dugaan korupsi emas PT Antam, dugaan korupsi timah PT Timah TBK, hingga kasus korupsi SYL, mantan pejabat kementerian pertanian, menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah besar yang dihadapi negara.
Meski demikian, kemunculan kasus-kasus ini juga perlihatkan semangat yang tak surut dalam upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Upaya ini masih dipertahankan di tengah stagnasi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, yang tidak perlihatkan perubahan dari sejak turun di tahun 2022 sebesar 34 dari 100.
Skor ini dikeluarkan oleh Transparency International (TI) setiap tahunnya, sejak tahun 1995 dengan pantauan sebanyak 180 negara. Indonesia pun menjadi salah satunya. TI Indonesia menilai bahwa stagnasi skor tersebut menggambarkan respons yang lambat terhadap korupsi di Indonesia, bahkan cenderung memburuk karena minimnya dukungan pemangku kepentingan.
Namun, munculnya kasus-kasus tersebut memiliki potensi untuk memengaruhi tren korupsi tahun ini. Bahkan, rupanya tren korupsi dalam 10 tahun belakangan ini belum kunjung turun, walau sempat alami fluktuasi.
Diambil dari laporan tahunan ICW, tren korupsi ditentukan berdasarkan jumlah tersangka dan kasus yang terjadi setiap tahunnya, sebagai gambaran peningkatan masalah korupsi di Indonesia.
Pada tahun 2017, jumlah kasus dan tersangka korupsi meningkat karena adanya 10 kasus besar, seperti kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Setelah itu, angkanya terus menurun hingga 2019.
Sejak tahun 2019 hingga tahun 2023, angka tersebut melonjak kembali, bahkan meningkat lebih dari tiga kali lipat. Sepanjang tahun 2023, ICW mencatat adanya 791 kasus korupsi yang terungkap, dengan 1.695 individu yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023, ICW mengidentifikasi dua faktor utama penyebab kenaikan ini.
Pertama, strategi pemberantasan korupsi pemerintah dianggap belum optimal dari sisi penindakan. Vonis pengadilan dari 2020-2022 tidak memberikan efek jera, sehingga pelaku korupsi melihat manfaat lebih besar daripada risiko hukuman. Akibatnya, tren korupsi terus meningkat setiap tahun.
Kedua, selain penindakan, pencegahan menjadi faktor penting dari strategi pemberantasan korupsi. Namun, strategi tersebut dapat dikatakan belum berjalan maksimal. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2018 dianggap belum berhasil menahan lonjakan kasus korupsi, yang terus meningkat setiap tahun.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pencegahan korupsi belum memberikan kontribusi yang berarti dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor