Kasus Perceraian Akibat KDRT Naik di 2023

KDRT menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia, jumlahnya melebihi 5.000 kasus di 2023, naik dibanding tahun 2022 yang sebanyak 4.972 kasus.

Kasus Perceraian Akibat KDRT Naik di 2023 Ilustrasi Perceraian | Freepik

Kasus perceraian di Indonesia masih cukup tinggi, meski jumlahnya terbilang turun pada 2023 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyebutkan bahwa jumlah perceraian di tanah air pada 2023 mencapai 463.654 kasus. Jumlah tersebut mengalami penurunan 10,2% dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 516.344 kasus. Penurunan ini merupakan yang pertama sejak pandemi Covid-19.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin menyebutkan bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) berperan penting dalam menekan angka perceraian ini. Ia menyatakan apresiasinya terhadap langkah sosialisasi dan kampanye dari KUA akan pentingnya persiapan dan kematangan sebelum menikah.

“KUA telah melakukan sosialisasi dan kampanye tentang pentingnya kesiapan emosional, spiritual, dan finansial bagi calon pengantin yang ternyata berpengaruh terhadap penurunan angka cerai,” tutur Kamaruddin Amin, mengutip laman resmi Kemenag.

Selain peran KUA, turunnya angka cerai ini juga didorong oleh revisi UU Perkawinan yang kini mewajibkan usia minimal 19 tahun bagi perempuan yang akan menikah. Lebih lanjut, ia juga mendorong KUA untuk terus membantu meningkatkan ketahanan dalam keluarga melalui sosialisasi dan penyuluhan yang tepat.

“Jika keluarga rentan terhadap persoalan sosial, ekonomi, dan lain-lain, hal ini akan berdampak pada ketahanan keluarga,” lanjutnya.

Meski membaik, angka perceraian di Indonesia tetaplah tinggi. Sebanyak 76% dari total kasus perceraian atau sekitar 352.403 kasus perceraian merupakan cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri, sedangkan sisanya adalah cerai tolak, yang diajukan pihak suami.

Penyebab Perceraian Indonesia

KDRT menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia, jumlahnya melebihi 5.000 kasus di 2023.
KDRT menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia, jumlahnya melebihi 5.000 kasus di 2023 | GoodStats

Di Indonesia, penyebab perceraian didominasi oleh isu perselisihan dan pertengkaran. Sebanyak 251.828 kasus perceraian diakibatkan oleh isu ini, setara dengan 61,67% dari total perceraian. 

Perbedaan sudut pandang antar pihak suami dan istri dapat berujung pada perselisihan. Awalnya memang terasa sepele, namun jika dibiarkan terus menerus, maka marah dan kekecewaan yang dipendam lama-lama menumpuk dan mengakibatkan perceraian. Hal inilah yang lumrah terjadi di Indonesia.

Di posisi kedua, isu ekonomi turut mendorong tingginya angka perceraian tanah air. 108.488 kasus perceraian diakibatkan oleh isu ekonomi, yang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kesejahteraan suatu rumah tangga. Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa uang bukanlah segalanya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tanpa uang, segalanya juga takkan bisa berjalan.

Beberapa penyebab perceraian lain di Indonesia adalah mabuk, judi, murtad, dihukum penjara, poligami, cacat badan, dan lain-lain. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) turut menjadi salah satu penyebab perceraian di Indonesia.

Angka Perceraian Akibat KDRT Terus Naik, Jatim Tertinggi

Jumlah kasus perceraian akibat KDRT di Indonesia aik di 2023.
Jumlah kasus perceraian akibat KDRT di Indonesia naik di 2023 | GoodStats

BPS mencatat, terdapat 5.174 kasus perceraian akibat faktor KDRT di Indonesia pada 2023. Angka tersebut bahkan naik 4,06% secara tahunan dibanding 2022 yang sebesar 4.972 kasus.

Selama 6 tahun terakhir, kasus perceraian akibat KDRT berangsur menurun. Capaian tertinggi diraih pada 2018 lalu, dimana angka kasus perceraian akibat KDRT mencapai 8.764 kasus. Jumlahnya terus menurun hingga ke titik terendah pada 2020 lalu, yang sebesar 3.271 kasus. Sejak itu, jumlah perceraian akibat KDRT terus naik hingga di 2023.

Menilik wilayahnya, maka kasus perceraian akibat KDRT paling banyak terjadi di Jawa Timur, totalnya bahkan mencapai 1.636 kasus. Tidak hanya tahun ini, Jawa Timur tercatat telah menjadi provinsi dengan kasus perceraian akibat KDRT terbanyak sejak 4 tahun sebelumnya. Di 2019, jumlahnya mencapai 1.593 kasus, di 2020 sebanyak 619 kasus, di 2021 sebanyak 1.354 kasus, dan di 2022 mencapai 1.577 kasus.

Menyusul Jawa Timur, Jawa Barat berada di urutan kedua dengan 442 kasus, diikuti Sulawesi Selatan dengan 333 kasus dan Sumatra Selatan dengan 259 kasus.

Sebaliknya, Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan kasus perceraian akibat KDRT terendah di 2023, hanya mencatatkan 3 kasus. Kepulauan Riau berada di urutan kedua dengan 13 kasus, diikuti Bali dengan 15 kasus.

KDRT Harus Diberantas

Kasus KDRT di Indonesia masih saja meresahkan publik. Siapa saja bisa menjadi korban. Beberapa waktu terakhir ramai diperbicarakan kasus KDRT yang melibatkan selebgram Cut Intan Nabila yang dilakukan suaminya, Armor Toreador. Selebgram yang juga merupakan atlet anggar tersebut mengunggah bukti rekaman CCTV yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan suaminya tersebut.

Nyatanya, bukan hanya Intan yang mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya. Ribuan wanita bahkan pria lain juga mengalami hal serupa, sebut saja korban KDRT di Pancoran, korban di Jakarta Selatan, dan masih banyak lagi. 

Kebanyakan dari mereka hanya tidak berani angkat suara. Takut akan norma sosial yang mencap negatif orang-orang yang bercerai hingga ketergantungan yang tinggi terhadap pelaku membuat korban enggan menyuarakan kekerasan yang dialaminya.

Trauma akibat kekerasan yang dihadapi selama berumah tangga cenderung sulit untuk disembuhkan. Beberapa korban membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa benar-benar terlepas dari rasa traumanya. Dengan demikian, bukan hanya luka fisik yang perlu segera ditangani, melainkan juga luka mental dan psikologis yang dialami korban agar tidak mengalami stres atau bahkan depresi.

“Menceritakan peristiwa yang dialami merupakan salah satu bentuk terapi. Tentu saja saat memutuskan untuk bercerita kita memilih orang yang tepat yang bisa dipercaya. Bercerita dapat dilakukan pada orang tua, sahabat, kelompok pendukung, maupun terapis,” tutur Dosen Keperawatan Jiwa Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Uswatun Hasanah, mengutip Suara Surabaya

Selain itu, korban kekerasan juga sangat dianjurkan untuk bergabung dengan kelompok pendukung dan penyintas yang bisa membantu memulihkan trauma. Hal ini disebabkan karena korban KDRT cenderung merasa dirinya sendiri dan tidak dicintai siapapun.

“Pengetahuan yang cukup terkait kekerasan dan penanganannya sangat diperlukan. Hal itu akan sangat membantu jika suatu saat berada dalam situasi yang sama, sehingga tahu apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dihubungi atau bahkan cara memberikan kode atau tanda bahwa saat ini sedang mengalami kekerasan dan butuh pertolongan,” lanjutnya lagi.

Pada akhirnya, segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga harus segera dituntaskan. Pemerintah harus mampu memperketat jeratan hukum untuk membuat jera para pelaku. Namun di sisi lain, para korban juga harus bisa memantapkan diri dan memberanikan hati untuk membuka mulut. Kekerasan yang terus dipendam tidak akan menguntungkan siapa-siapa, kecuali pelaku itu sendiri.

Baca Juga: Perselisihan dan Pertengkaran jadi Faktor Utama Perceraian di Indonesia

Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor

Konten Terkait

Program Makan Siang Gratis Dapat Dukungan dari China, Indonesia Bukan Negara Pertama

Langkah ini tidak hanya mengatasi permasalahan gizi, tetapi juga menjadi bagian dari upaya global untuk memerangi kelaparan dan mendukung pendidikan.

Survei GoodStats: Benarkah Kesadaran Masyarakat Akan Isu Sampah Masih Rendah?

Survei GoodStats mengungkapkan bahwa 48,9% responden tercatat selalu buang sampah di tempatnya, 67,6% responden juga sudah inisiatif mengelola sampah mandiri.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook