Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Jumlah tersebut menurun sebesar 10,2% dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 516.344 kasus.
Pada 2023, mayoritas perceraian di Indonesia merupakan cerai gugat, yaitu cerai yang diajukan oleh pihak istri. Jumlahnya mencapai 352.403 kasus atau 76% dari total kasus perceraian. Sedangkan 24% perceraian terjadi karena cerai talak, yaitu cerai yang diajukan pihak suami.
Penurunan pada tahun 2023 ini merupakan yang pertama kali setelah pandemi Covid-19.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin, mengapresiasi kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) atas penurunan ini. Kamaruddin mengatakan, KUA telah berperan dalam sosialisasi dan kampanye persiapan kematangan masyarakat sebelum menikah.
Dirjen Bimas Islam terus mendorong KUA untuk meningkatkan perannya dalam menjawab dinamika isu-isu sosial yang dapat memperkuat ketahanan keluarga. Kamaruddin juga mengatakan pihaknya akan terus meningkatkan kualitas Bimbingan Perkawinan (Bimwin).
Menurutnya, Bimwin dapat mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat terhadap KUA yang bukan hanya melayani pernikahan, tetapi juga mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah sosial seperti perceraian.
“Calon pengantin harus mampu memahami makna, tujuan, dan persiapan perkawinan agar dapat membentuk keluarga sakinah,” pungkasnya.
Lantas, apa yang menjadi faktor utama perceraian di Indonesia?
Pada 2023, faktor atau penyebab utama perceraian di Indonesia adalah karena perselisihan dan pertengkaran yaitu sebanyak 251.828 kasus atau 61,67% dari total kasus perceraian di Indonesia. Selain itu, masalah ekonomi juga memainkan peran signifikan dalam meningkatnya angka perceraian yaitu sebanyak 108.488 kasus.
Perselisihan dan pertengkaran sering kali berakar dari berbagai isu yang sering dianggap sepele, mulai dari perbedaan pandangan, masalah komunikasi, hingga ketidaksetiaan. Komunikasi yang buruk dapat menyebabkan salah paham terus-menerus sehingga dapat memperburuh hubungan antar pasangan.
Perbedaan dalam sudut pandang dan stres dari tekanan eksternal juga seringkali menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga. Tekanan dari keluarga besar, pekerjaan, dan lingkungan sosial dapat memperburuk hubungan suami istri.
Perselisihan yang terus-menerus dalam rumah tangga memiliki dampak yang luas tidak hanya pada pasangan tetapi juga pada anak-anak dan lingkungan sosial.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh konflik sering kali mengalami masalah emosional dan psikologis. Anak-anak juga mungkin menunjukkan perilaku agresif atau menarik diri sebagai respon terhadap stress yang dialami di rumah.
Oleh karena itu, Bimbingan Perkawinan (Bimwin) diperlukan untuk mengatasi masalah komunikasi dan memahami satu sama lain dengan lebih baik. Bimwin juga dapat membantu pasangan dalam membangun kembali kepercayaan dan komitmen.
Penulis: Icen Ectefania Mufrida
Editor: Iip M Aditiya