Penembakan gas air mata dilakukan oleh pihak aparat sebagai langkah akhir untuk mengamankan massa ketika terjadi kerusuhan. Gas air mata dulunya digunakan saat perang untuk melumpuhkan lawan tanpa kekuatan mematikan.
Aturan mengenai penembakan gas air mata diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Berdasarkan pasal 5 pada Peraturan Kapolri tersebut, gas air mata menjadi langkah kelima dari enam langkah terkait tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Pada tahun 2015, anggaran amunisi gas air mata cukup signifikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan data bahwa di tahun 2017, anggaran amunisi gas air mata meloncak sangat tajam dibandingkan tahun sebelumnya. ICW juga mencatat bahwa terdapat 144 kasus penembakan gas air mata dari tahun 2015-2022.
Tahun 2016 merupakan tahun awal meningkatnya kasus penembakan gas air mata secara drastis, dua kali lipat dibanding tahun 2015. Di tahun 2017 sempat turun, kemudian naik drastis di tahun 2019, yaitu sebanyak 29 kasus. Selama 8 tahun terakhir, kasus penembakan gas air mata paling banyak terjadi pada tahun 2019.
Angka penembakan gas air mata di tahun 2020 tidak jauh berbeda dibandingkan tahun 2019, padahal masih dalam masa pandemi. Di tahun 2021 sempat turun menjadi 17 kasus, lalu meningkat lagi di tahun 2022. ICW menjelaskan bahwa pola penembakan gas air mata meningkat di tahun 2019-2022.
Tahun 2016, kasus penembakan gas air mata terviral berada di Jakarta. Terjadi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 4 November sebagai bentuk protes akan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama. Aksi demonstrasi ini berlanjut lagi di tanggal 2 Desember 2016.
Banyak demonstrasi menolak RKUHP dan omnibus law ditahun 2019-2020, sehingga kasus penembakan gas air mata paling banyak terjadi di dua tahun tersebut. ICW menyebutkan bahwa demonstrasi Omnibus law menjadi penyebab terbanyak adanya kasus penembakan gas air mata, yaitu 23 kasus.
Puncak kasus penembakan gas air mata terjadi di bulan Oktober 2022. Diklaim untuk menertibkan massa, pihak kepolisian menebarkan gas air mata ke dalam stadion yang menewaskan lebih dari 100 orang.
Awalnya, gas air mata digunakan dalam perang sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan tanpa kekuatan mematikan. Namun, kini ditemukan bahwa gas air mata memiliki efek jangka panjang.
Prof Tjandra Yoga Aditama, direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI, mengatakan bahwa orang yang terkena gas air mata di ruangan tertutup dengan jumlah yang banyak beresiko terkena efek kronis berkepanjangan.
Gas air mata memiliki efek jangka pendek seperti mengganggu penglihatan, iritasi mata, kesulitan untuk menelan, muncul ruam, gejala mual dan muntah, hingga menimbulkan sesak nafas. Namun, jumlah gas air mata yang banyak dapat menyebabkan luka bakar yang serius, masalah pernapasan, hingga kematian.
Penulis: Kristina Jessica
Editor: Editor