Jawa Barat Jadi Provinsi yang Paling Sering Alami Cuaca Ekstrem

Secara umum, cuaca ekstrem adalah sinyal peringatan dari alam bahwa sistem iklim sedang berada dalam tekanan.

Jawa Barat Jadi Provinsi yang Paling Sering Alami Cuaca Ekstrem Ilustrasi Cuaca Ekstrem | jakarta.go.id

Cuaca ekstrem kini menjadi salah satu isu paling nyata yang dirasakan di berbagai belahan dunia. Badai yang semakin kuat, gelombang panas yang memecahkan rekor, hingga hujan deras yang menyebabkan banjir bandang adalah beberapa contoh fenomena cuaca ekstrem yang kerap terjadi.

Perubahan ini bukan lagi sekadar anomali cuaca, melainkan pola yang menunjukkan adanya perubahan iklim global yang signifikan. Banyak ilmuwan mengaitkan peningkatan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem dengan naiknya suhu rata-rata bumi akibat aktivitas manusia.

Perubahan cuaca yang terjadi belakangan ini erat kaitannya dengan pemanasan global. Aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan peningkatan emisi gas rumah kaca, telah meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.

Hal ini memicu efek rumah kaca, di mana panas yang seharusnya dipantulkan keluar dari atmosfer justru terperangkap, sehingga menghangatkan planet. Akibatnya, siklus cuaca alami terganggu, dan fenomena cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi.

Menariknya, jenis cuaca ekstrem yang dialami setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada kondisi geografis, iklim lokal, dan faktor lingkungan lainnya. Perbedaan ini terjadi karena setiap wilayah memiliki karakteristik atmosfer, suhu permukaan laut, dan sirkulasi udara yang unik, sehingga respons terhadap perubahan iklim pun bervariasi.

101 cuaca ekstrem terjadi di Jawa Barat selama tahun 2024 | GoodStats

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2024, Jawa Barat tercatat sebagai wilayah yang paling sering dilanda cuaca ekstrem, dengan 101 kejadian.

Tingginya angka ini dapat dikaitkan dengan kondisi geografis dan populasi yang padat, serta peningkatan intensitas hujan lebat akibat perubahan iklim. Dengan wilayah yang luas dan banyak daerah rawan banjir, Jawa Barat menghadapi tantangan besar dalam mitigasi bencana.

Provinsi Jawa Timur menyusul dengan 83 kejadian cuaca ekstrem. Sebagai daerah dengan garis pantai yang panjang, Jawa Timur sering kali terdampak badai dan angin kencang yang diperparah oleh aktivitas manusia seperti deforestasi di daerah hulu.

Jawa Tengah berada di posisi ketiga dengan 75 kejadian cuaca ekstrem. Provinsi ini juga menghadapi risiko yang tinggi akibat cuaca ekstrem, terutama di daerah pegunungan dan dataran rendah.

Di luar Pulau Jawa, Sulawesi Selatan mencatatkan 29 kejadian cuaca ekstrem. Provinsi ini kerap mengalami badai tropis dan curah hujan tinggi, terutama di musim hujan. Topografi yang bervariasi, dari dataran tinggi hingga pesisir, turut memengaruhi jenis bencana yang terjadi, seperti banjir di daerah rendah dan longsor di wilayah pegunungan.

Sumatra Utara berada di posisi kelima dengan 26 kejadian cuaca ekstrem. Provinsi ini sering mengalami hujan deras dan angin kencang, yang banyak dipengaruhi oleh aktivitas di Samudra Hindia.

Lampung mencatatkan 25 kejadian cuaca ekstrem, sebagian besar berupa hujan lebat yang memicu banjir dan angin kencang di daerah pesisir. Sebagai pintu gerbang Pulau Sumatra, Lampung juga rawan terdampak perubahan arus laut dan cuaca di Selat Sunda, yang memperburuk kondisi ekstrem.

Aceh dan Kepulauan Riau masing-masing mencatatkan 17 dan 13 kejadian cuaca ekstrem. Di Aceh, ancaman utama berasal dari angin kencang dan hujan lebat yang sering kali terkait dengan gangguan atmosfer di kawasan Samudra Hindia.

Sementara itu, di Kepulauan Riau, cuaca ekstrem lebih sering terkait dengan kondisi laut dan angin, mengingat wilayah ini didominasi oleh perairan.

Secara keseluruhan, perbedaan jumlah dan jenis cuaca ekstrem di setiap provinsi menunjukkan bahwa faktor geografis, topografi, dan aktivitas manusia memainkan peran besar dalam meningkatkan risiko bencana. Hal ini menjadi pengingat pentingnya mitigasi dan adaptasi yang spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah.

Tanpa upaya serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbaiki kerusakan lingkungan, fenomena ini diperkirakan akan semakin sering terjadi dan membawa dampak yang lebih besar. Oleh karena itu, memahami penyebab cuaca ekstrem dan mengambil langkah mitigasi menjadi tugas bersama demi masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Baca Juga: Daftar Peristiwa yang Buruk Bagi Iklim, Aktivitas Manusia Mendominasi

Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor

Konten Terkait

PPDB Jadi SPMB, Sistem Zonasi Tak Lagi Digunakan

Kemendikdasmen merilis regulasi baru untuk penerimaan murid baru mulai tahun 2025, simak keempat jalurnya!

AJI Catat 73 Kasus Kekerasan pada Jurnalis Sepanjang 2024

AJI menilai, dunia jurnalistik Indonesia masih "kelam". Bagaimana situasinya?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook