Kasus Intoleransi di Indonesia: Jumlah, Penyebab, Pelaku dan Contohnya

Jumlah angka kasus intoleransi di Indonesia mengalami tren peningkatan dengan total 477 peristiwa dan 731 tindakan sepanjang tahun 2023-2024.

Kasus Intoleransi di Indonesia: Jumlah, Penyebab, Pelaku dan Contohnya Ilustrasi Intoleransi Agama | Shutterstock
Ukuran Fon:

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang kaya. Dari Sabang hingga Merauke, ribuan budaya, bahasa, dan kepercayaan hidup berdampingan, menyulam Indonesia menjadi negara penuh warna.

Namun, justru karena begitu ramainya perbedaan yang menghiasi, terlebih untuk hal kepercayaan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa menjaga keharmonisan antarumat beragama masih menjadi tantangan besar.

Di balik semangat Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi toleransi, kasus-kasus intoleransi di Indonesia atau pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terus bermunculan setiap tahunnya.

Merujuk pada laporan SETARA Institute, sepanjang tahun 2023-2024, angka pelanggaran terhadap KBB atau kasus intoleransi di Indonesia mengalami tren peningkatan dengan total 477 peristiwa dan 731 tindakan.

Jumlah kasus intoleransi di Indonesia | peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB di Indonesia sepanjang 2023-2024 | GoodStats
Jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB di Indonesia sepanjang 2023-2024 | GoodStats

Lebih rinci, pada 2023 terjadi 217 peristiwa dan 329 tindakan, sementara pada 2024 meningkat menjadi 260 peristiwa dan 402 tindakan. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa praktik intoleransi di Indonesia dan pelanggaran KBB masih menjadi persoalan mengkhawatirkan yang belum terselesaikan.

Jika ditarik lebih mundur lagi, sejak 2007 hingga 2022, tercatat pula 573 kasus intoleransi atau gangguan terhadap peribadatan yang pada umumnya meliputi pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan sebagainya.

Dalam laporan yang sama, SETARA juga menuliskan kategori pelaku yang melakukan tindakan intoleransi atau pelanggaran.

Kategori pelaku pelanggaran KBB dan kasus intoleransi di Indonesia tahun 2024 | GoodStats
Kategori pelaku pelanggaran KBB di Indonesia tahun 2024 | GoodStats

Tercatat dari total tindakan intoleransi atau pelanggaran KBB pada tahun 2024, 159 di antaranya dilakukan oleh aktor negara, seperti pejabat publik atau aparat penegak hukum. Sementara itu, 243 tindakan lainnya berasal dari aktor non-negara, termasuk individu maupun kelompok masyarakat sipil.

Data ini menunjukkan bahwa pelanggaran tak hanya datang dari masyarakat umum, melainkan kerap kali dimotori oleh oknum dari institusi negara. Meskipun jaminan konstitusional atas kebebasan beragama telah lama diakui, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal.

Apa Penyebab Tingginya Kasus Intoleransi di Indonesia?

Disebutkan dalam berbagai laman resmi, salah satu faktor pendorong yang diduga berkontribusi terhadap meningkatnya kasus intoleransi atau pelanggaran KBB pada tahun 2024 adalah dinamika politik nasional, terlebih karena pelaksanaan Pemilihan Presiden dan anggota legislatif pada 14 Februari 2024 serta Pilkada serentak pada 27 November 2024.

Walaupun politik identitas berbasis agama tidak lagi digunakan secara masif seperti pada pemilu 2014 dan 2019, sejumlah temuan tetap mengisyaratkan bahwa politisasi agama masih terjadi di berbagai daerah. Hal ini menandakan bahwa agama masih menjadi alat yang potensial untuk kepentingan politik elektoral di tingkat lokal.

Di sisi lain, menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, perhatian pemerintah terhadap isu KBB dinilai mulai melemah. Fokus utama pemerintah lebih banyak tercurah pada agenda transisi kekuasaan dan stabilitas politik nasional, sehingga isu-isu hak sipil, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, menjadi turun level prioritas. Kondisi ini menciptakan celah yang memungkinkan terjadinya pelanggaran KBB tanpa pengawasan atau penanganan serius dari negara.

Kasus-kasus Intoleransi di Indonesia

Berbagai bentuk intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terus terjadi di Indonesia. Dilansir dari berbagai sumber resmi, salah satu kasus yang mencuri perhatian publik terjadi pada Mei 2024, ketika ibadah rosario mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) di Tangerang Selatan dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga, menyebabkan satu mahasiswa terluka akibat senjata tajam. Pihak kepolisian menetapkan Ketua RT dan tiga warga sebagai tersangka atas insiden tersebut.

Menjelang pertengahan 2025, dua kasus intoleransi agama kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan mendalam. Di Indragiri Hulu, Riau, seorang siswa SD berusia 8 tahun berinisial KB meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan dan pemukulan oleh kakak kelasnya karena perbedaan agama. Kasus ini menunjukkan betapa kekerasan berbasis keyakinan dapat merambah hingga ke lingkungan anak-anak, bahkan di usia sekolah dasar.

Sementara itu, di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, sebuah kegiatan retret anak dan remaja Kristen di sebuah vila dirusak secara brutal oleh sekelompok warga. Tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Kerusakan fisik terjadi di berbagai bagian vila, termasuk jendela, gazebo, hingga kendaraan. Para peserta retret pun mengalami trauma, meski pihak gereja memilih menahan diri dan menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum. Aksi perusakan ini bermula dari tudingan bahwa vila tersebut digunakan untuk kegiatan ibadah tanpa izin, meski sebenarnya acara yang digelar bersifat reflektif dan non-peribadatan.

Maraknya kasus intoleransi agama di Indonesia menjadi isyarat bahwa perlindungan terhadap kebebasan beragama masih menghadapi tantangan serius. Meski Indonesia memiliki dasar konstitusional yang menjamin kebebasan beragama, regulasi yang ada seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 dinilai belum memadai. Minimnya sanksi dan sosialisasi membuat aturan ini belum begitu efektif untuk mencegah konflik di lapangan, terlebih terkait pendirian rumah ibadah.

Ke depannya, pemerintah diharapkan mengambil langkah konkret untuk memperkuat kerangka hukum yang mampu menjamin kerukunan umat beragama secara lebih komprehensif demi menciptakan kehidupan beragama yang harmonis, inklusif, dan bebas dari kekerasan maupun diskriminasi.

Baca Juga: Bagaimana Sikap Toleran Lintas Beragama pada Remaja Indonesia?

Sumber:

https://setara-institute.org/wp-content/uploads/2025/05/Siaran-Pers_Kondisi-KBB-2024_SETARA-Institute-1.pdf

https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---II-PUSLIT-Mei-2024-214.pdf

Penulis: Dilla Agustin Nurul Ashfiya
Editor: Editor

Konten Terkait

Menanti Logo HUT RI ke-80, Intip Desain 5 Tahun Terakhir!

Logo HUT RI ke-80 belum resmi dirilis pemerintah. Sembari menanti, simak kembali deretan logo tahun-tahun sebelumnya yang sarat makna dan filosofi.

Media Sosial Jadi Ancaman Utama Kesehatan Mental Remaja

Media sosial dipilih oleh orang tua dan remaja sebagai sumber utama gangguan kesehatan mental, mengalahkan bullying dan teknologi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook