Penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin meluas. ChatGPT sebagai chatbot AI generative yang paling populer di berbagai negara, memiliki pola frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Di beberapa negara, ChatGPT telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari masyarakat baik itu untuk belajar, bekerja, hingga hiburan.
Sementara itu, di negara lain penggunaannya cenderung lebih minim dan terbatas pada kebutuhan tertentu. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana teknologi AI diterima dan dimanfaatkan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, serta tingkat literasi digital di masing-masing negara.
Grafik di atas menampilkan sepuluh negara dengan frekuensi penggunaan ChatGPT tertinggi pada tahun 2023. India menempati posisi teratas dengan 36% warganya menggunakan ChatGPT setiap hari dan 39% setiap minggu.
Posisi berikutnya diisi oleh Pakistan (28% harian, 34% mingguan) serta Kenya (27% harian, 42% mingguan). China juga tercatat tinggi dengan 24% pengguna harian dan 49% mingguan. Sementara itu, Brasil dan Indonesia sama-sama menunjukkan angka signifikan, masing-masing dengan 21% dan 20% penggunaan harian, serta dominasi penggunaan mingguan di atas 38%.
Di sisi lain, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko cenderung lebih jarang menggunakan AI. Tercatat hanya 18% responden Amerika Serikat yang menggunakan setiap hari dan 34% responden mengaku jarang mengakses ChatGPT.
Kanada bahkan hanya memiliki 13% pengguna harian, dengan mayoritas 36% menggunakan secara jarang. Pola ini mengindikasikan bahwa negara berkembang memiliki intensitas penggunaan ChatGPT yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, yang lebih banyak menggunakannya secara bulanan atau jarang.
Laporan ini merupakan hasil survei yang dilakukan pada Oktober–November 2023 oleh Schwartz Reisman Institute for Technology and Society bekerja sama dengan Policy, Elections and Representation Lab di University of Toronto. Survei ini berbasis target sensus dengan melibatkan lebih dari 1.000 responden dari 21 negara yang apabila ditotalkan mencapai 23.882 responden.
Lebih lanjut, survei ini juga menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia menggunakan ChatGPT untuk mendukung pekerjaannya, yakni sebanyak 54% responden. Adapun dalam hal edukasi, persentasenya tercatat sebanyak 15%.
Kehadiran ChatGPT juga chatbot AI serupa memang sangat membantu banyak orang dalam produktivitasnya. Namun penggunaan yang tidak bijaksana akan membawa dampak negatif, seperti tumpulnya nalar kritis dan kreativitas karena selalu mengandalkan chatbot AI dalam menyelesaikan pekerjaan.
Guru Besar Ilmu Kecerdasan Buatan IPB University Yeni Herdiyeni menekankan supaya generasi muda Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi AI, namun harus dibarengi dengan pengembangan kognitif yang kuat dalam berpikir.
Selain ancaman ketergantungan, ketiadaan undang-undang AI juga dapat membuka celah bagi penyalahgunaan data.
"Kalau tidak ada undang-undangnya, akan sulit jika ada pihak yang mengumpulkan data tanpa persetujuan pemiliknya dan menggunakannya untuk mengembangkan model AI. Mau dijerat dengan apa? Ini beda dengan UU ITE. UU AI memastikan bahwa inovasi yang dikembangkan harus bertanggung jawab," ujarnya, pada Selasa (1/7/2025), melansir CNN.
Baca Juga: Pengguna ChatGPT Capai 400 Juta pada 2025, Imbas Tren Efek Ghibli?
Sumber:
https://srinstitute.utoronto.ca/public-opinion-ai
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20250630172402-185-1245272/apakah-indonesia-punya-regulasi-terkait-ai
Penulis: Silmi Hakiki
Editor: Editor