Fenomena NEET atau Not in Employment, Education, or Training, menjadi salah satu isu yang cukup mengkhawatirkan di Indonesia. NEET sendiri bisa diartikan sebagai seseorang yang sedang tidak bekerja, tidak melakukan pendidikan, dan sedang dalam kegiatan pelatihan apapun.
Sekilas, memang definisi NEET hampir mirip dengan pengangguran, namun sebetulnya berbeda. NEET ditujukan pada masyarakat berusia 15-24 tahun yang sedang tidak melakukan kegiatan apapun terutama terkait pekerjaan, pendidikan, dan pelatihan. Sedangkan pengangguran sendiri adalah masyarakat di atas 15 tahun yang sedang tidak bekerja namun aktif mencari lowongan pekerjaan.
Singkatnya perbedaan NEET dan pengangguran adalah pada minat dan kesediaannya untuk bekerja. Istilah NEET sendiri pertama kali muncul di Inggris sebagai upaya untuk mengklasifikasi kaum muda yang tidak terlihat dalam statistik pengangguran tradisional.
Istilah ini kemudian semakin dikenal dan turut diadopsi negara lainnya seperti Jepang dengan istilah hikikomori dan Spanyol dengan generasi ni-ni. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik sendiri menyoroti adanya pertumbuhan angka generasi NEET yang cukup fluktuatif di setiap tahunnya,
Data NEET dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2020 menjadi tahun dengan jumlah NEET tertinggi selama 5 tahun terakhir, yakni sebanyak 24,28% dari total pemuda usia 15-24 tahun di 38 provinsi di Indonesia yang tidak sedang sekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan. Namun kemudian terjadi penurunan yang signifikan di setiap tahunnya sebanyak 0,56%, hingga jumlah NEET merosot ke angka terendah yakni sebesar 20,31%.
Meskipun angka NEET Indonesia menunjukkan tren penurunan dan ada perbaikan, persentase sekitar 20% angka ini belum bisa dianggap wajar dalam konteks pembangunan sumber daya manusia karena masih menunjukkan banyak pemuda yang belum aktif secara produktif.
NEET sendri bisa disebabkan beberapa faktor, seperti keterbatasan akses pendidikan dan pelatihan, keterbatasan ekonomi, ketidaksesuaian keterampilan dengan pasar kerja, dan kemungkinan adanya ekspektasi gender.
Menurut sebuah penelitian oleh Nindya Riana dari UGM, sekitar 33% pemuda NEET di Jawa Barat memilih mengurus rumah tangga, yang umumnya dialami oleh perempuan muda.
Tingginya persentase NEET juga dapat disebabkan oleh keadaan perekonomian Indonesia yang cukup fluktuatif. Namun, melihat data pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir menurut BPS, menunjukkan adanya pola yang fluktuatif. Tahun 2020 menjadi titik terendah akibat pandemi Covid-19 dengan kontraksi sebesar -2,07%. Namun, pemulihan terjadi secara bertahap: 3,18% pada 2021, naik menjadi 5,31% pada 2022, dan sedikit melambat ke 4,96% pada 2023.
Secara sektoral, wilayah seperti Papua, Sulawesi, dan Kalimantan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Namun, peningkatan ekonomi ini tidak selalu berjalan selaras dengan penurunan angka NEET.
Misalnya, pada tahun 2022 ketika pertumbuhan ekonomi mencapai puncaknya di angka 5,31%, persentase NEET justru meningkat menjadi 23,22%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum otomatis menciptakan peluang inklusif bagi seluruh pemuda, terutama dalam pendidikan, pelatihan, dan lapangan kerja.
Meskipun secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami perbaikan, tren ini tidak serta merta paralel dengan penurunan jumlah NEET. Misalnya, tahun 2022 mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi (5,31%), tetapi justru angka NEET naik dari 22,40% (2021) menjadi 23,22%. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak secara langsung menciptakan akses atau peluang yang merata dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan bagi pemuda.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi nasional belum otomatis menjawab tantangan struktural yang menyebabkan tingginya angka NEET. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun ekonomi membaik, belum tentu lapangan kerja atau sistem pelatihan berkembang dengan cukup cepat dan inklusif untuk menyerap pemuda usia produktif yang belum aktif secara ekonomi.
Strategi dan Solusi Atasi NEET
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, untuk mengurangi fenomena NEET perlu adaya upaya pemerintah tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, namun juga hal-hal lainnya seperti:
1. Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kurikulum belajar di Indonesia harus lebih adaptif, berbasis keterampilan, dan sesuai dengan kebutuhan industri. Kolaborasi antara institusi pendidikan dan dunia usaha juga penting untuk memastikan lulusan siap kerja atau berwirausaha. Serta penyediaan pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan bagi lulusan sekolah atau perguruan tinggi agar lulusan baru tetap relevan dengan perkembangan pasar kerja.
2. Perluasan Lapangan Kerja
Termasuk mendorong kewirausahaan berbasis pemuda seperti di sektor digital dan ekonomi kreatif, dan investasi pada sektor-sektor padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja muda, seperti manufaktur, pertanian, ekonomi hijau, dan teknologi.
3. Penguatan Infrastruktur dan Akses
Perlu adanya pembangunan infrastruktur lebih lanjut khususnya infrastruktur digital bagi daerah-daerah tertinggal, sehingga dapat mendukung pendidikan dan pelatihan secara daring.
4. Kerja Sama antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat
Adanya inisiasi kebijakan cuti parental, fasilitas penitipan anak, dan akses pelatihan untuk perempuan demi meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja, dalam hal ini kerja sama antara pemerintah, swasta atau mitra kerja, dan masyarakat harus dapat bekerja sama untuk memastikan solusi berjalan secara baik dan berkelanjutan.
Baca Juga: Cek Angka Pengangguran Terbuka RI Terbaru 2023, Malah Naik?
Penulis: Emily Zakia
Editor: Editor