Akhir-akhir ini, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga sipil terus meningkat. Kasus penembakan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa aksi damai, hingga penggunaan gas air mata dan water cannon masih banyak ditemukan bahkan dalam situasi non-konflik.
Data dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan ratusan insiden kekerasan polisi terhadap masyarakat. Aparat malah semakin fasih menggunakan kekerasan sebagai respons utama, memberikan rasa takut dan trauma bagi masyarakat. Kondisi ini tak jarang memengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi tersebut.
Melalui Kertas Kebijakan yang bertajuk Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang, KontraS menyoroti tingginya kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam satu tahun terakhir, termasuk di dalamnya dugaan pelanggaran HAM.
Selama periode Juli 2024 hingga Juni 2025, KontraS mencatat 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, didominasi peristiwa penembakan yang mencapai 411 peristiwa. Berikutnya terdapat 81 peristiwa penganiayaan, 72 peristiwa penangkapan sewenang-wenang, 42 pembubaran paksa, hingga 38 kasus penyiksaan dengan 86 korban, di mana 10 meninggal dunia dan 76 korban lain mengalami luka ringan hingga berat. Tidak hanya itu, terdapat 37 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang mengakibatkan 40 orang meregang nyawa.
Selain itu, pada periode yang sama, KontaS juga mencatat 44 peristiwa salah tangkap yang membuat 35 orang terluka dan 8 orang meninggal dunia. Terdapat pula 89 pelanggaran kebebasan sipil. Sebanyak 1.020 orang menjadi korban pelanggaran, mayoritas merupakan mahasiswa. Korban juga berasal dari kelompok lain seperti jurnalis, paramedis, petani, siswa, aktivis, hingga masyarakat sipil. Di saat bersamaan, terdapat pula 62 peristiwa penangkapan aktivis HAM, dengan 5 di antaranya mengalami luka-luka.
Ragam peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian tentu memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga tersebut. Survei dari GoodStats mengungkapkan bahwa publik RI nyatanya ragu akan kepolisian yang bersih, profesional, dan mengayomi, tingkat keraguan ini mencapai 40,9%. Sementara itu, 33% responden lain percaya dan 24,7% merasa tidak percaya polisi bisa jadi lembaga yang bersih, profesional, dan mengayomi.
Berbarengan dengan HUT ke-79 Polri yang mengangkat tema “Polri untuk Masyarakat”, Presiden RI Prabowo Subianto menekankan pentingnya polisi untuk mendengar penderitaan masyarakat.
"Polisi Indonesia harus di tengah-tengah rakyat, harus merasakan penderitaan rakyat, harus merasakan kesulitan rakyat, harus mendengar jeritan hati rakyat," ujar Prabowo saat menjadi Inspektur Upacara di HUT Bhayangkara ke-79 di Monas, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
Ia menegaskan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan polisi yang bersih, tangguh, unggul, dan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Ke depannya, Prabowo turut berpesan agar polisi bisa menjadi pihak yang membela rakyat lemah dan miskin.
"Karena itulah, negara dan bangsa kita memerlukan suatu kepolisian yang tangguh, kepolisian yang unggul, kepolisian yang bersih, kepolisian yang dicintai rakyat, kepolisian rakyat, selalu di tengah-tengah rakyat, selalu membela rakyat, selalu melindungi rakyat, terutama mereka-mereka yang paling lemah, yang paling tertindas, dan yang paling miskin," tegasnya.
Baca Juga: Survei GoodStats 2025: Mayoritas Masyarakat Masih Ragu pada Polisi
Sumber:
https://kontras.org/artikel/rilis-hari-bhayangkara-2025-kekerasan-yang-menjulang-di-tengah-penegakan-hukum-yang-timpang
https://goodstats.id/publication/polisi-baik-polisi-buruk-bagaimana-kesan-di-mata-publik-tahun-2025-csN2U
https://nasional.kompas.com/read/2025/07/01/12202531/prabowo-polisi-harus-mendengar-jeritan-hati-rakyat
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor