Jurnalis memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi kepada publik. Setiap hari, mereka melakukan berbagai liputan untuk menggali fakta, mengonfirmasi data, dan menghadirkan berita yang akurat serta berimbang.
Pekerjaan ini menuntut ketelitian, kecepatan, dan integritas tinggi agar informasi yang disampaikan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Namun, di balik tugasnya yang krusial, jurnalis sering kali menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Liputan yang mereka lakukan tidak selalu berlangsung dalam kondisi yang aman dan nyaman.
Banyak situasi yang mengharuskan mereka berada di lingkungan yang penuh tekanan, menghadapi hambatan fisik maupun psikologis, bahkan berisiko tinggi terhadap keselamatan diri.
Tantangan ini bisa datang dari berbagai faktor, mulai dari lingkungan kerja yang tidak kondusif, tekanan dari pihak-pihak tertentu, hingga ancaman yang dapat menghambat kebebasan pers.
Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh TIFA Foundation dan Populix, jurnalis Indonesia menghadapi berbagai risiko dalam melaksanakan tugasnya. Liputan demonstrasi menjadi yang paling sering dihadapi dengan persentase 61%.
Hal ini menunjukkan bahwa aksi massa sering kali menjadi situasi yang penuh tantangan bagi jurnalis, baik dari segi keamanan maupun akses terhadap informasi. Dinamika di lapangan yang cepat berubah, potensi bentrokan, serta tekanan dari berbagai pihak membuat peliputan demonstrasi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi.
Selain itu, liputan di wilayah konflik dan bencana juga menjadi tantangan besar bagi jurnalis, dengan masing-masing persentase 48% dan 47%.
Wilayah konflik sering kali menghadapkan jurnalis pada ketidakstabilan politik dan keamanan yang rentan terhadap kekerasan, sedangkan liputan bencana membawa risiko tersendiri seperti kondisi lingkungan yang berbahaya dan minimnya fasilitas pendukung.
Selain itu, peliputan kriminalitas dengan persentase yang sama (47%) menunjukkan bahwa jurnalis juga harus berhadapan dengan ancaman dari pelaku kejahatan, baik secara langsung maupun melalui intimidasi yang dapat menghambat kerja jurnalistik mereka.
Lebih lanjut, sebanyak 24% jurnalis pernah meliput di wilayah dengan risiko penyakit, seperti saat terjadi wabah atau pandemi. Risiko ini tidak hanya terkait dengan paparan penyakit itu sendiri, tetapi juga keterbatasan akses terhadap peralatan medis dan informasi yang akurat.
Sementara itu, liputan di wilayah konflik militer (8%), aksi teroris (7%), dan wilayah kelompok bersenjata (7%) menunjukkan bahwa ada sebagian jurnalis yang harus bekerja di kondisi ekstrem, di mana keselamatan mereka bisa menjadi taruhan.
Di luar kategori yang telah disebutkan, sebanyak 9% jurnalis melaporkan pernah menghadapi risiko lain dalam peliputan. Hal ini menegaskan bahwa tantangan di dunia jurnalisme sangat beragam dan tidak selalu dapat diprediksi.
Dengan mempertimbangkan data ini, penting bagi industri media dan organisasi jurnalis untuk terus memperkuat perlindungan dan dukungan bagi para pekerja media agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih aman dan profesional.
Pengumpulan data dilakukan pada 30 Oktober hingga 6 Desember 2024 menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Selain data primer yang diperoleh dari survei dan wawancara, penelitian ini juga mengandalkan data sekunder untuk memperkaya analisis. Salah satu sumber utama adalah data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam lima tahun terakhir.
Selain itu, wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan di industri media turut memberikan perspektif lebih luas. Stakeholder yang diwawancarai mencakup jurnalis senior, editor, organisasi pers, hingga pakar kebebasan pers.
Baca Juga: Ungkapan Kekhawatiran Jurnalis Indonesia di Era Prabowo
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor