Meningkatnya kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak di Indonesia menjadi perhatian penting bagi orang tua tahun ini. Jumlah kasus gangguan ginjal akut progresif aptikal (GGA) pada anak di Indonesia yang sebelumnya berada di kisaran 2-5 kasus per bulan seketika naik menjadi 36 kasus pada bulan Agustus 2022 dan terus meningkat hingga lebih dari 100 kasus pada Oktober 2022.
Mengutip dari Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI per 3 November 2022 jumlah kasus GGA di Indonesia tercatat telah menembus angka 323 pasien. Adapun rinciannya yakni 99 kasus sembuh, 34 kasus dirawat, dan 190 kematian.
Obat sirup anak yang beredar di pasaran disinyalir menjadi penyebab melonjaknya kasus gagal ginjal akut misterius pada anak-anak di Indonesia khususnya menyasar balita. Obat sirup berbahaya tersebut beredar bebas di apotek dan umumnya merupakan obat penurun demam serta batuk pada anak.
Oleh karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik sementara peredaran obat sirup di apotek dan toko obat seluruh Indonesia untuk dikaji lebih lanjut. Berbicara mengenai peredaran obat bebas, Jakpat merilis hasil survei bertajuk “Syrup Medicines and Acute Kidney Injuries” pada Oktober 2022.
Laporan ini mengungkapkan kecenderungan para ibu saat menghadapi kondisi anak yang sedang sakit serta persepsi mengenai konsumsi obat bebas bagi anak mereka. Bagaimana gambarannya?
Sebagian besar membawa anak ke dokter dan memberikan obat yang dijual bebas
Berdasarkan hasil survei dari Jakpat, mayoritas responden akan mengajak anak mereka berobat ke dokter atau fasilitas kesehatan jika anak mengalami sakit. Adapun raihannya sebesar 69 persen responden pada tahun 2022.
Menilik lebih jauh, sebesar 54 persen responden mengungkapkan bahwa mereka akan membawa anak mereka berobat ke dokter ketika telah mengalami demam lebih dari 3 hari. Kemudian, sebesar 42 responden menyatakan bahwa mereka akan mengajak anak berobat ke dokter jika sakit yang dialami tak kunjung membaik.
Adapun sebesar 39 persen responden mengajak anak mereka ke dokter ketika sudah mengonsumsi obat yang dijual bebas namun tidak lekas membaik. Berikutnya, 33 persen responden membawa anak ke dokter saat penyakit yang dialami anak menunjukkan gejala yang makin parah serta 24 persen di antaranya berobat ke dokter segera setelah anak menunjukkan gejala flu.
Selain membawa anak ke dokter saat sakit, sebagian besar responden lebih tepatnya sebesar 59 persen memberikan anak obat yang dijual bebas saat sang anak mengalami flu. Sementara itu, 53 persen responden memilih untuk memberikan pengobatan luar kepada anak mereka jika mengalami flu.
Di sisi lain, terdapat responden yang memberikan pijatan kepada anak (42 persen), memberikan obat tradisional (37 persen), serta melakukan tes PCR atau antigen (2 persen) pada anak mereka saat menunjukkan gejala flu.
Mayoritas ibu memberikan obat sirup saat anak sakit
Sekitar 6 dari 10 responden memberikan obat yang dijual bebas di apotek maupun toko obat lainnya saat anak mereka terkena flu. Sebagian besar responden memberikan obat segera setelah gejala flu muncul pada anak dengan raihan sebesar 39 persen.
Adapun sebesar 31 persen responden memberikan obat saat gejala sakit yang muncul mengganggu sang anak. Selain itu, sebagian responden memberikan obat saat situasi anak tidak kunjung membaik (27 persen), anak mengalami demam lebih dari 38 derajat (25 persen), demam lebih dari 3 hari (15 persen), gejala bertambah parah (10 persen), serta telah mengonsumsi obat resep namun tak lekas membaik (9 persen).
Temuan lebih lanjut dari survei ini mengungkapkan bahwa mayoritas responden yakni sebesar 93 persen umumnya membeli obat jenis sirup untuk anak. Kemudian 16 persen responden memilih memberikan obat tetes untuk anak mereka yang sedang sakit.
Adapun 13 persen responden memberikan obat tablet saat anak mengalami sakit. Sisanya, 7 persen responden memberikan obat serbuk, 5 persen responden memberikan obat pil, dan 4 persen responden memberikan obat kapsul untuk anak.
Berkenaan dengan meningkatnya angka kasus gagal ginjal akut misterius yang diduga kuat disebabkan oleh kandungan berbahaya dalam obat sirup, sekitar 30 persen responden kemudian mengungkapkan bahwa mereka tidak akan membeli obat sirup untuk anaknya yang mengalami sakit.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya