Lembaga Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini melaksanakan survei terkait pemahaman masyarakat mengenai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI. Hasilnya cukup mencengangkan, dengan 70,3% publik yang mengaku tidak mengetahui mengenai proses revisi tersebut.
Survei yang dilakukan pada periode 22-26 Maret 2025 ini melibatkan 1.214 responden dari seluruh Indonesia yang berusia 20 tahun ke atas. Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin of error sekitar ±2,9% pada tingkat kepercayaan 95%, yang menunjukkan tingkat representasi yang cukup kuat dari seluruh populasi Indonesia.
Baca Juga: RUU TNI Resmi Disahkan, Ini Urutan Pangkat TNI dari Tertinggi-Terendah
Awareness Masyarakat terhadap RUU KUHAP Masih Sangat Rendah
Peneliti LSI, Dr. Yoes C. Kenawas, menyatakan bahwa pengetahuan publik tentang revisi KUHAP sangat rendah. Hanya sekitar 29,7% responden yang mengetahui bahwa revisi KUHAP sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR.
"Awareness itu masih rendah sekali," kata Yoes kepada wartawan di Jakarta Selatan (13/4), mengingat pentingnya revisi KUHAP yang dapat berdampak langsung pada masyarakat.
Dr. Yoes juga menambahkan bahwa sebagian besar masyarakat hanya akan mengetahui mengenai KUHAP apabila mereka atau keluarga mereka pernah terlibat dalam kasus hukum. Hal ini mengarah pada indikasi bahwa masyarakat baru menyadari pentingnya revisi KUHAP ketika mereka langsung berinteraksi dengan sistem peradilan. Data dari survei juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% responden yang menyatakan bahwa mereka atau kerabat mereka pernah berurusan dengan aparat penegak hukum.
"Per hari ini kalau tadi dilihat kan masyarakat yang mengaku pernah berurusan dengan aparat hukum atau keluarganya, kerabatnya pernah berurusan dengan aparat hukum itu 20%," jelasnya.
Di sisi lain, Maidina selaku Plt Direktur Eksekutif ICJR setelah diwawancarai oleh GoodStats (25/4) menerangkan bahwa tantangan utama yang dihadapi adalah bahwa revisi RUU KUHAP sangat teknis dan tidak mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Berbeda dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengatur perbuatan yang dilarang, RUU KUHAP lebih fokus pada prosedur hukum terkait status seseorang sebagai tersangka atau korban dalam proses peradilan.
Menanggapi hal ini, Maidina menjelaskan bahwa ICJR berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai RUU KUHAP dengan memberikan edukasi yang jelas mengenai apa itu KUHAP dan masalah-masalah yang ada dalam revisi ini.
“Strategi kami dengan memberikan pengetahuan soal KUHAP itu apa dan RUU KUHAP ini masalahnya apa aja,” jelasnya pada tim GoodStats.
Pernah Berurusan dengan Penegak Hukum
Survei ini juga mencatat bahwa 19,8% responden mengaku pernah berurusan dengan aparat penegak hukum atau mengetahui orang terdekatnya yang mengalami hal tersebut. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa mereka sudah memahami hak dan kewajiban mereka dalam proses pencarian keadilan.
“Survei LSI kan juga bilang bahwa hanya 19% dari responden yang pernah berhadapan dengan hukum,” ujarnya.
Dengan demikian, bagi banyak orang, KUHAP tidak menjadi perhatian utama kecuali mereka terlibat langsung dalam kasus hukum. Namun, ini bukan alasan untuk mengabaikan pentingnya revisi ini, karena dampak dari perubahan dalam KUHAP dapat memengaruhi seluruh masyarakat, termasuk mereka yang tidak pernah berurusan dengan hukum.
Namun, Dr. Yoes menegaskan bahwa pemahaman tersebut tidak berarti masyarakat memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur formal untuk mendapatkan keadilan. Selain itu, survei ini juga mengungkapkan adanya kekhawatiran dari publik terkait potensi terjadinya pungutan liar (pungli) dalam proses hukum.
"Publik cukup terbelah terkait kekhawatiran harus membayar biaya tambahan kepada aparat penegak hukum di luar biaya resmi. Ini menjadi indikasi awal adanya kekhawatiran publik atas praktik pungli," ungkap Yoes.
Pentingnya Pendampingan Hukum untuk Semua Tersangka
Selain itu, ICJR juga berfokus pada penguatan pasal dalam RUU KUHAP yang mengatur pendampingan hukum bagi tersangka. Survei LSI mengungkapkan dari base responden yang tidak pernah berurusan hukum bahwa 77,2% responden setuju adanya pendampingan hukum oleh advokat, yang menunjukkan rendahnya pemahaman dan akses masyarakat terhadap hak-hak hukum mereka.
ICJR lewat Maidina mendesak agar RUU KUHAP mengatur kewajiban pendampingan hukum untuk semua tersangka, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok marginal yang mungkin tidak memiliki akses ke advokat.
“Kami juga mau meng-highlight bahwa dari data ini menemukan mayoritas masyarakat juga mendukung izin pengadilan untuk upaya paksa,” tuturnya.
Dengan memastikan setiap tersangka mendapatkan pendampingan hukum yang layak, ICJR berharap dapat menjamin perlindungan HAM dan mencegah adanya kesewenangan aparat yang dapat merugikan individu, terutama yang belum berpengalaman dalam sistem hukum.
Harapan untuk DPR dan Masyarakat
Lewat laman ICJR, ICJR juga menyampaikan harapannya kepada Komisi III DPR RI untuk memastikan bahwa revisi RUU KUHAP dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, beradap, dan transparan, yang mengutamakan perlindungan HAM.
Di sisi lain, ICJR juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat untuk lebih aktif dalam mengikuti perkembangan pembahasan revisi RUU KUHAP, karena perubahan ini akan berdampak langsung pada kehidupan mereka.
“Kita harus kawal ruu KUHAP. KUHAP itu benteng untuk melindungi kita ada kesewenangan aparat,” kata Maidina, menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam memastikan agar revisi RUU KUHAP tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dengan terus mengawalnya.
“Maka harus kita kawal,” tutupnya.
Baca Juga: Maju-Mundur RUU Perampasan Aset, Mengapa Tak Kunjung Disahkan?
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor