Pernikahan anak masih menjadi persoalan pelik yang membayangi masa depan jutaan anak di berbagai belahan dunia. Di tengah kemajuan zaman dan kampanye global untuk menghentikan praktik ini, angka pernikahan anak justru masih tinggi di sejumlah negara, termasuk di kawasan Asia dan Afrika.
Fenomena ini tak hanya merampas masa kanak-kanak, tetapi juga mengancam hak-hak dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan.
Maraknya pernikahan anak saat ini tak lepas dari rendahnya kesadaran masyarakat tentang dampak buruk dari praktik tersebut. Dalam banyak kasus, alasan ekonomi, tekanan budaya, hingga minimnya akses terhadap pendidikan menjadi pemicu utama.
Namun, di balik itu semua, kebijakan dan regulasi pemerintah juga memainkan peran besar. Perbedaan standar usia legal pernikahan di tiap negara turut memengaruhi tingginya angka pernikahan anak secara global.
Sayangnya, hingga kini masih banyak negara yang belum memiliki aturan hukum yang komprehensif dan tegas untuk melindungi anak dari praktik pernikahan dini.
Beberapa negara bahkan memperbolehkan pernikahan di bawah usia 18 tahun dengan alasan tertentu, seperti izin orang tua atau keputusan pengadilan, yang kerap disalahgunakan.
Data dari World Bank tahun 2024 menunjukkan bahwa hingga saat ini masih banyak wilayah di dunia yang belum memiliki undang-undang pernikahan anak yang komprehensif.
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tercatat sebagai wilayah dengan tingkat ketidaklengkapan regulasi tertinggi, yakni 95% negara di kawasan ini belum memiliki perlindungan hukum yang menyeluruh terkait pernikahan anak. Hal ini menunjukkan bahwa praktik pernikahan dini masih sangat mungkin terjadi dan dilegitimasi oleh hukum yang longgar atau tidak memadai.
Kondisi serupa juga terlihat di Amerika Latin dan Karibia, di mana 78% negara belum memiliki regulasi komprehensif. Padahal, kawasan ini kerap menghadapi persoalan sosial dan ekonomi yang dapat mendorong praktik pernikahan anak, seperti kemiskinan dan norma budaya yang patriarkal.
Afrika Sub-Sahara tak jauh berbeda, dengan 77% negara yang belum memiliki perlindungan hukum menyeluruh untuk mencegah pernikahan anak. Wilayah ini selama bertahun-tahun menjadi salah satu episentrum pernikahan dini karena perpaduan antara kemiskinan ekstrem, tradisi lokal, dan lemahnya penegakan hukum.
Asia Selatan pun menghadapi tantangan serupa, dengan 75% negara yang belum memiliki peraturan komprehensif. Padahal, wilayah ini mencakup negara-negara dengan populasi anak terbesar di dunia, seperti India dan Bangladesh, yang memiliki angka pernikahan anak yang masih tinggi.
Di Asia Timur dan Pasifik, sebanyak 72% negara juga belum memiliki regulasi komprehensif. Meskipun secara umum wilayah ini menunjukkan kemajuan pembangunan, kesenjangan hukum dalam melindungi anak dari praktik pernikahan dini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan reformasi sosial dan hukum.
Menariknya, bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi yang tergabung dalam OECD, 65% belum memiliki undang-undang pernikahan anak yang komprehensif.
Ini menjadi pengingat bahwa pernikahan anak bukan hanya persoalan negara berkembang, tetapi juga bisa terjadi di negara maju ketika hukum memberikan ruang atau pengecualian tertentu terhadap praktik tersebut.
Wilayah Eropa dan Asia Tengah menjadi satu-satunya kawasan yang hampir seimbang, dengan 48% negara telah memiliki peraturan komprehensif dan 52% sisanya masih tertinggal.
Meski demikian, angka ini menunjukkan adanya harapan dan kemajuan dalam harmonisasi hukum yang berpihak pada perlindungan anak.
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor