Polemik kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) Indonesia semakin memanas ketika pemerintah Vietnam, baru-baru ini memperpanjang periode penurunan tarif PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025. Keputusan ini banyak menjadi bahan perbincangan warga Indonesia, secara di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia malah memutuskan untuk menaikan tarif PPN pada 2025 mendatang dari 11% menjadi 12%, mulai efektif pada 1 Januari 2025.
Adapun penurunan tarif PPN di Vietnam sebesar 2% ini telah berlaku sejak Februari 2022 lalu. Rencananya, penurunan ini hanya berlaku hingga 31 Desember 2024, namun diperpanjang hingga 30 Juni 2025. Dengan demikian, beberapa sektor akan terdampak dari penurunan ini, seperti penerbangan, transportasi, wisata, akomodasi, jasa katering, edukasi dan pelatihan, agrikultur, manufaktur, dan perumahan sosial.
Sementara itu, barang dan jasa yang tidak terdampak dari penurunan PPN ini mencakup sektor telekomunikasi, teknologi informasi, finansial dan jasa perbankan, keamanan, asuransi, real estate, produksi besi, pertambangan (kecuali batu bara), produksi kue, pengolahan minyak, produk kimia, serta produk dan jasa dengan pajak konsumsi khusus.
Awalnya, penurunan PPN ini bertujuan untuk mendukung ekonomi negara yang cenderung melambat akibat hantaman pandemi Covid-19. Pada kuartal I 2023, pertumbuhan ekonomi Vietnam berada di angka 3,3%, jauh turun dari kuartal IV 2022 sebesar 5,9%. Penurunan PPN ditujukan untuk mendorong konsumsi internal guna menyeimbangkan aktivitas ekspor yang sempat anjlok. Bahkan awalnya, penurunan PPN ini hanya berlaku hingga Desember 2023.
Kementerian Keuangan Vietnam memproyeksikan penurunan pendapatan negara hingga 26,1 triliun dong Vietnam (US$1,028 miliar) pada semester pertama 2025. Meski begitu, penurunan PPN tetap akan dilanjutkan guna mendorong produksi dan bisnis lokal, sehingga pada akhirnya tetap dapat meningkatkan pendapatan negara.
Untuk menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa setiap negara mempunyai kebijakan ekonomi yang berbeda, sehingga tentu saja tidak bisa disamakan begitu saja.
“Kan beda negara, beda kebijakan,” ungkapnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Jumat (13/12/2024), mengutip Kontan.
Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan bahwa perpanjangan penurunan tarif PPN Vietnam ini takkan berdampak terhadap daya saing Indonesia dengan negara tersebut.
“Tidak. PPN kan untuk barang yang sudah,” lanjutnya.
Menanggapi hal ini, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai bahwa pernyataan Airlangga keliru. Hal ini dikemukakannya lewat akun X miliknya. Ia menyebutkan bahwa beda negara beda kebijakan adalah hal yang keliru.
Tarif PPN Indonesia di ASEAN
Dengan begitu, jika dibandingkan negara ASEAN lain, Indonesia akan punya tarif PPN tertinggi, sedangkan Timor Leste menjadi yang terendah, yakni sebesar 2,5% dalam bentuk pajak penjualan barang impor.
Filipina berada di urutan kedua, dengan nilai PPN sebesar 12%. Malaysia menetapkan tarif sebesar 10% dalam bentuk pajak penjualan, sementara Singapura dalam bentuk pajak barang dan layanan sebesar 9%.
Kenaikan tarif PPN di Indonesia terus menuai protes dari masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang merasa terbebani dengan kenaikan ini. Beberapa ahli juga menilai bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini hanya akan melemahkan daya beli masyarakat. Meski tujuan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang sudah baik, namun implementasinya masih harus dikaji ulang.
Baca Juga: Pajak Penghasilan di Indonesia Setara dengan Negara Lain?
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor