Tidak sedikit koruptor yang taat beribadah. Bahkan memiliki gelar keagamaan. Orang taat beragama punya kecenderungan untuk korupsi yang rendah. Sebaliknya, orang tidak taat agama punya kecenderungan korupsi tinggi.
Namun kenyataannya, ketaatan beragama tak sejalan dengan perilaku korupsi. Pasalnya, skor Indeks Persepsi Korupsi tanah air hanya sebesar 34 poin pada 2022. Bila mengacu pada hasil riset Rodi (2016), kehadiran agama dalam rutinitas seseorang mestinya mampu mencegah perilaku korupsi.
Tapi sayang, belakangan ini masyarakat Indonesia kerap melihat fakta berlawanan. Pejabat-pejabat publik yang citranya amat lekat dengan agama toh kerap tertangkap sebagai pelaku korupsi.
Penangkapan Romahurmuziy pekan lalu, contohnya. Ketua Umum dari partai berlambang Ka’bah ini diciduk KPK atas dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama (15/3/2019). Sebelumnya, di era pemerintahan SBY, Menteri Agama Suryadharma Ali menjadi tersangka korupsi dana haji senilai lebih dari Rp 1 triliun.
Di era pemerintahan Megawati, Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar juga menjadi tersangka korupsi Dana Abadi Umat. Penyandang gelar profesor, doktor dan haji itu ditaksir telah merugikan negara hingga sekitar Rp 700 miliar lewat modus pengeluaran anggaran fiktif, pengeluaran ganda, serta utang yang tak dikembalikan. Meski kekuasaan mereka ditopang simbol-simbol agama, kelakuannya tidak mencerminkan ketaatan pada agama.
Survei Pew Research Center menunjukkan 96 persen responden di dalam negeri mengaitkan kepercayaan pada Tuhan dengan moral baik pada 2020. Angka itu pun menjadi yang paling tinggi di dunia. Di posisi kedua yakni negara Kenya dengan persentase 95 persen dengan skor indeks korupsi sebanyak 32 poin.
Kemudian negara Brasil dengan persentase 84 persen dan skor indeks korupsi sebanyak 38 poin. Sedangkan Australia, Prancis, dan Swedia memiliki tingkat ketaatan terhadap agama dibawah 50 persen dengan masing-masing 19 persen, 15 persen, dan 9 persen. Dan diikuti dengan indeks korupsi yang tinggi yakni diatas 70 poin.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan, sejak lama sudah juga memberi fatwa bahwa korupsi haram. Bukan terbatas pada agama Islam saja, agama yang lain pun demikian. Korupsi dilarang agama. Tentu juga, apa yang dilakukan koruptor dan ibadah tidak bisa disamaratakan, tetapi muncul dugaan, jangan-jangan agama hanya dipakai sebagai kedok untuk menarik simpati publik.
Penulis: Adel Andila Putri
Editor: Iip M Aditiya