Presiden Joko Widodo pada awal 2021 lalu sempat mengungkapkan ingin melakukan perubahan dalam pasal-pasal bermasalah pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam keterangannya, Jokowi menyadari bahwa pasal-pasal karet merupakan hulu dari penyalahgunaan regulasi, penafsiran terhadap tiap bulir pasal yang berbeda-beda dapat dengan mudah diinterpretasikan secara sepihak.
Namun, sayangnya janji manis itu hanya sebatas angin lalu. Hingga 2021 berakhir bahkan hingga kini, UU ITE tak kunjung direvisi. Pemerintah menawarkan solusi sementara dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi dari UU ITE, tetapi tetap saja hal tersebut tidak menghentikan sejumlah pihak melayangkan pidana untuk para korban.
Menurut laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2021 terdapat 38 orang yang telah menjadi korban kriminalisasi UU ITE. Korban yang paling banyak menerima tuduhan tersebut datang dari kalangan aktivis, para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyuarakan kepentingan publik.
SAFEnet menyebut, tren korban kriminalisasi pada 2021 memang turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni mencapai 84 korban pada 2020. Namun, hal tersebut tidak secara langsug menunjukkan perbaikan dalam hal pemenuhan hak atas ekspresi.
Pasalnya, warga yang dituntut dengan UU ITE pada 2021 paling banyak berasal dari kalangan aktivis, yakni mencapai 10 orang atau 26,3 persen dari total korban.
Kejadian ini merupakan kali pertama di mana aktivis menjadi korban tertinggi sejak UU ITE disahkan pada 2008 lalu. Biasanya, hukum pidana UU ITE berasal dari kalangan warga.
Sedangkan korban terbanyak lainnya juga berasal dari korban kekerasan dan pendampingnya sebanyak 8 orang (21,1 persen), serta 7 orang dari kalangan warga (18,4 persen). Lalu kemudian disusul dari kalangan jurnalis, akademisi, mahasiswa, buruh, politisi, dan organisasi masyarakat.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya