Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ditetapkan sebagai salah satu agenda prioritas pemerintah pada 2025. Setelah dinilai berhasil dijalankan pada tahun pertama, Presiden Prabowo Subianto bertekad memperluas dan meneruskan program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi peserta didik ini hingga 2026 dengan anggaran dan penerima manfaat yang lebih banyak.
Sebagai negara dengan indeks risiko bencana alam tertinggi ketiga di dunia pada tahun 2025, Indonesia juga dihadapkan dengan kebutuhan mitigasi yang kian mendesak setelah terjadinya banjir yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra pada November 2025.
Mencuatnya desakan dari berbagai pihak terhadap Presiden Prabowo untuk menetapkan status darurat bencana nasional yang tak kunjung disahkan semakin menyoroti adanya ketidakseimbangan alokasi anggaran program prioritas pemerintah dengan lembaga sektor kebencanaan.
Executive Director Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HakA), Farwiza Farhan menilai presiden gagal menangani bencana akibat anggaran negara yang terlalu diguyurkan untuk program MBG.
“Keputusan Bapak untuk mengecilkan budget di semua lini penopang kehidupan dan memfokuskan semuanya di MBG punya dampak sangat besar. Karena pada akhirnya, demi makan siang gratis, kami semua jadi membayar dengan harta, dengan nyawa, dengan apa yang kami punya,” ujarnya dalam segmen Ngobrol Seru: Hutan Hilang Sumatra Tenggelam oleh IDN Times, Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: 10 Provinsi dengan Anggaran Lingkungan Hidup Terendah
Perbandingan Anggaran MBG dan Lembaga Kebencanaan
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia (RI), pemerintah mengalokasikan Rp335 triliun untuk program MBG. Jumlah ini meningkat hampir 5 kali lipat dari outlook 2025 yang sebelumnya berada di angka Rp71 triliun.
Dengan kenaikan yang senilai, pelaksanaan MBG tahun 2026 ditargetkan menyasar 82,9 juta penerima manfaat yang terdiri dari siswa, prasiswa, ibu hamil dan menyusui, serta anak di bawah lima tahun (balita), dari target mulanya tahun 2025 yang sebanyak 17,9 juta peserta.
Sebaliknya, total anggaran untuk lembaga kebencanaan dalam RAPBN 2026 tercatat jauh lebih kecil, yaitu hanya Rp4,6 triliun. Nilai tersebut bahkan lebih rendah dibanding outlook 2025 dengan nominal belanja Rp5,7 triliun.
Adapun anggaran kebencanaan yang diperhitungkan merupakan penjumlahan dari tiga lembaga utama pemerintah yang menangani mitigasi, pemantauan, dan respons bencana, meliputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Jika melihat akumulasi belanja kementerian/lembaga dalam RAPBN 2026 yang mencapai Rp1.498,25 triliun, tampak jelas dominasi porsi yang dialokasikan untuk penyelenggaraan MBG.
Di sisi lain, lembaga kebencanaan hanya memperoleh bagian yang sangat kecil, yaitu 0,003% dari keseluruhan anggaran. Perbandingan yang kontras ini menandakan ketimpangan prioritas dalam konteks kebutuhan mitigasi dan kesiapsiagaan nasional.
Menilik Belanja Lembaga Kebencanaan Pemerintah
Apabila ditinjau lebih rinci, anggaran tahun 2026 untuk setiap lembaga kebencanaan menunjukkan dinamika yang tidak seragam. Dana yang dijatuhkan untuk BNPB mengalami penurunan tajam. Sebaliknya, BMKG dan Basarnas memperoleh pertumbuhan alokasi.
Adapun BMKG menjadi instansi dengan belanja terbesar dibandingkan lembaga lainnya, baik pada outlook 2025 maupun RAPBN 2026. Tahun ini, BMKG diperkirakan memperoleh dana Rp2,5 triliun dan dicanangkan naik 8% menjadi Rp2,7 triliun pada tahun 2026.
Pertumbuhan serupa juga dialami oleh lembaga Basarnas. Dalam RAPBN 2026, anggaran untuk lembaga Search and Rescue (SAR) nasional ini diproyeksikan mencapai Rp1,4 triliun, atau tumbuh 16% dari outlook tahun sebelumnya yang berada di angka Rp1,2 triliun.
Sementara itu, BNPB sebagai lembaga yang menjadi ujung tombak penanggulangan bencana justru mencatat penurunan anggaran yang cukup besar. Mulanya, outlook 2025 mencatatkan angka Rp2 triliun. Anggaran ini anjlok 75% dalam RAPBN 2026 sehingga hanya menyisakan Rp491 miliar.
Penurunan drastis ini menimbulkan pertanyaan besar perihal seberapa serius pemerintah memprioritaskan penanganan risiko bencana di Indonesia, terlebih akibat pemangkasan anggaran BNPB sebagai kesiapan nasional dalam menghadapi bencana besar yang menuntut koordinasi serta sumber daya lapangan dalam skala luas.
Berapa Dana Penanggulangan Bencana dari Pemerintah?
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah memberikan pagu dana cadangan penanggulangan bencana alam sebesar Rp5 triliun. Namun, realisasi dananya mengalami fluktuasi dan cenderung naik sejak tahun 2023.
Dana cadangan penanggulangan bencana ini dialokasikan pada Kemenkeu dan dapat digunakan pada saat kejadian tanggap darurat atau pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi melalui pemberian hibah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Pada tahun 2021, anggaran cadangan untuk kebencanaan di Indonesia dihabiskan sebesar Rp4,21 triliun atau meraup sebesar 84,2% dari total dana yang tersedia. Proporsi ini mengalami penurunan menjadi 50,8% atau hanya Rp2,54 triliun yang terpakai pada tahun berikutnya sebelum mengalami kenaikan mencapai Rp4,32 triliun atau setara dengan 86,5% pada tahun 2023.
Peningkatan signifikan terjadi pada tahun sesudahnya. Dana yang dikeluarkan untuk menanggulangi bencana pada tahun 2024 menyentuh Rp5,33 triliun. Nominal ini bahkan melebihi alokasi yang disiapkan dengan persentase 106,6%. Per Semester I tahun 2025, anggaran sebanyak Rp950 miliar sudah digunakan dalam penanggulangan bencana.
Realisasi anggaran yang melampaui alokasi memberi sinyal bahwa kebutuhan penanggulangan bencana kerap melebihi perkiraan pemerintah. Hal ini juga menandakan bahwa risiko kebencanaan di Indonesia semakin meningkat. Dengan pagu yang tetap dan anggaran lembaga kebencanaan yang kian terbatas, kemampuan respons cepat dalam mitigasi bencana bergantung pada keputusan realokasi anggaran darurat.
Banjir Sumatra 2025 dan Kerugiannya
Berdasarkan laporan penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) berjudul Dampak Kerugian Ekonomi Bencana Banjir Sumatra, bencana ekologis di Sumatra periode November 2025 diproyeksi telah mengakibatkan kerugian ekonomi Rp68,67 triliun.
Kerugian tersebut mencakup kerusakan rumah penduduk, kehilangan pendapatan rumah tangga, rusaknya fasilitas infrastruktur jalan dan jembatan, serta kehilangan produksi lahan pertanian yang tergenang banjir dan longsor.
Bencana ekologis ini dipicu oleh alih fungsi lahan karena deforestasi sawit dan pertambangan. Ironisnya, pemasukan dari sektor tersebut tidak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan.
Baca Juga: Indonesia Peringkat Ke-2 Negara dengan Deforestasi Terbesar
Dari Aceh, misalnya, nilai kerugian yang ditaksir mencapai Rp2,04 triliun, melampaui perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tambang Aceh yang baru menyentuh Rp929 miliar per 31 Agustus 2025.
Kemenkeu sendiri juga telah merangkum sejumlah bencana dengan kerugian yang besar bagi negara sepanjang sejarah. Tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 menjadi bencana dengan kerugian terbesar, dengan dana yang dihabiskan untuk pemulihan pasca bencana sebesar Rp51,4 miliar.
Setelahnya, gempa yang melanda Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta pada tahun 2006 menyebabkan kerugian sebesar Rp29,15 miliar, berselisih tipis dengan kerusakan senilai Rp28,5 miliar akibat gempa di Padang, Sumatra Barat yang terjadi pada tahun 2009.
Gempa yang juga menyebabkan tsunami di Sulawesi Tengah pada tahun 2018 turut muncul dalam daftar ini, dengan kerugian berjumlah Rp23,1 miliar. Dari wilayah timur Indonesia, gempa yang melanda Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2018 telah menyebabkan kerugian sebesar Rp18,2 miliar.
Bencana dengan kerugian terbesar berikutnya berupa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda beberapa daerah pada tahun 2015, dengan wilayah yang paling berdampak adalah Pulau Sumatra dan Kalimantan. Kerugian yang dihasilkan bencana ini sebesar Rp16,1 miliar.
Dengan angka yang lebih kecil, bencana hidrometeorologi berupa banjir di Jakarta pada tahun 2007 mencatatkan kerugian Rp5,18 miliar. Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 menjadi satu-satunya bencana vulkanik yang disebutkan dalam daftar, dengan kerugian senilai Rp3,63 miliar.
Ketimpangan alokasi anggaran antara program prioritas seperti MBG dan kebutuhan penanggulangan bencana memantik sinyal penting mengenai arah prioritas negara. Di tengah meningkatnya intensitas bencana, kemampuan mitigasi dan kesiapsiagaan nasional sangat bergantung pada kecukupan pendanaan. Tanpa penguatan anggaran, risiko kerugian sosial dan ekonomi berpotensi terus membengkak dan membebani negara di masa depan.
Baca Juga: Analisis Sentimen Media Online terhadap Penanganan Bencana di Sumatra 2025
Sumber:
https://drive.google.com/file/d/1TsimTqqDXN_LvhRMLac-QcIOj8I-V4_P/view
Penulis: Shahibah A
Editor: Editor