Prevalensi Stunting Indonesia Kian Landai, Pemerintah Targetkan 14% di 2024

Masih dibutuhkan penekanan hingga 10,4 persen untuk mencapai target prevalensi stunting 14 persen di 2024.

Prevalensi Stunting Indonesia Kian Landai, Pemerintah Targetkan 14% di 2024 Petugas kesehatan memberikan suntikan imunisasi pada balita di Surabaya | Shutterstock

Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-29 telah diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia bersama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatra Utara pada 7 Juli 2022 lalu. Pada kesempatan tersebut, selain kembali mengingatkan kewaspadaan terhadap COVID-19, Jokowi mengajak masyarakat dan seluruh pihak untuk dapat bersinergi bersama menekan prevalensi stunting.

“Pada peringatan Harganas ke-29 ini, saya mengajak seluruh kekuatan bangsa untuk bergerak bersama-sama, bekerja bersama-sama, bersinergi bersama-sama untuk menurunkan stunting dan seluruh akar masalahnya dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia, generasi penerus kita yang berkualitas,” ujar Jokowi pada siaran langsung Puncak Harganas ke-29.

Stunting merupakan kondisi balita dengan panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Adapun ukuran dari stunting didasarkan pada tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO.

Sejak lama, stunting telah menjadi masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Bahkan Indonesia sempat menempati peringkat kedua tertinggi prevalensi stunting balita se-Asia Tenggara pada tahun 2020 dengan persentase sebesar 31,8 persen. Sementara posisi pertama diduduki oleh Timor Lester dengan prevalensi 48,8 persen. Diikuti oleh Laos di posisi ketiga dengan prevalensi sebesar 30,2 persen.

Data Penderita Stunting se-Asia Tenggara (2020) | Goodstats
Data Penderita Stunting se-Asia Tenggara (2020) | Goodstats

Implikasi stunting dan optimasi upaya pencegahan

Secara nasional, angka stunting memang menunjukkan perbaikan. Di tahun 2019, prevalensi stunting masih menunjukkan 27,7 persen. Sementara pada 2021, data menunjukkan adanya penurunan sebesar 3,3 persen sehingga menjadi 24,4 persen.

Akan tetapi masih ada beberapa provinsi di Indonesia yang menunjukkan adanya prevalensi stunting yang cukup tinggi. Padahal untuk mendapatkan kategori baik dalam angka stunting, setidaknya setiap wilayah harus dapat mencapai prevalensi kurang dari sama dengan 20 persen.

Angka Stunting Tertinggi di 10 Provinsi Indonesia (2021) | Goodstats
Angka Stunting Tertinggi di 10 Provinsi Indonesia (2021) | Goodstats

Dengan demikian, stunting merupakan isu yang perlu mendapatkan pengawalan bersama. Sebab dengan kondisi stunting, beberapa implikasi dapat terjadi, salah satunya balita cenderung akan mengalami kesulitan dalam perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Selain itu, dampak jangka panjang yang ditimbulkan stunting menurut WHO di antaranya adalah tidak optimalnya postur tubuh saat dewasa, meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya, menurunnya kesehatan reporoduksi, kurang optimalnya kapabilitas belajar, produktivitas dan performa kerja.

Di mana hal tersebut pada gilirannya akan menghambat terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan pada akhirnya kondisi ini juga akan membawa dampak lebih luas pada pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan serta memperbesar ketimpangan.

Oleh sebab itu, pemerintah bersama dengan BKKBN bersikeras untuk menekan prevalensi stunting di Indonesia. Pada peringatan Harganas pula, Hasto Wardoyo sebagai kepala BKKBN menyampaikan momen tersebut adalah momen refleksi dan apresiasi negara terhadap peran penting keluarga dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat keluarga merupakan lembaga pertama untuk dapat berperan menciptakan generasi yang sehat, bergizi serta berkualitas.

Adapun beberapa dimensi yang dapat menjadi fokus untuk menekan prevalensi stunting menurut Kementerian Kesehatan di antaranya yang pertama, situasi ibu dan calon ibu. Di mana kesehatan dan gizi ibu sebelum dan setelah kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Selain itu, postur tubuh ibu yang pendek, jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu dengan usia remaja serta asupan nutrisi yang kurang saat hamil juga dapat mendorong terjadinya stunting pada bayi.

Kedua adalah situasi bayi dan balita. Pada situasi ini, faktor-faktor yang dapat dilihat adalah berkenaan dengan nutrisi yang diperoleh sejak lahir, termasuk pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, penyapihan dini serta kuantitas, kualitas dan keamanan pangan pada proses pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI).

Sementara ketiga adalah situasi sosial ekonomi dan lingkungannya. Bagaimana kebersihan sanitasi tempat tinggal serta kemampuan ekonomi dalam memenuhi asupan bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita merupakan faktor yang berkaitan dengan peluang terjadinya stunting.

Pemerintah targetkan angka 14 persen dapat dicapai di 2024

Meski ada tren penurunan prevalensi stunting, pemerintah berharap tetap ada evaluasi yang perlu dilakukan. Apalagi jika angka bayi stunted (pendek menurut usia) dikaitkan dengan angka wasted (kurus menurut tinggi badan) sesuai standar WHO. Hanya ada satu Provinsi, yakni Bali yang mendapat kategori baik dengan angka stunted dan wasted rendah.

Melalui optimasi pencegahan dari berbagai pihak dan semangat optimisme, BKKBN berharap ada sinergi antarpihak dan sektor untuk mencapai target yang telah pemerintah tetapkan. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.

“Untuk mencapai target tersebut diperlukan upaya serius dan kerja keras dari seluruh pihak. Salah satunya melalui kolaborasi lintas sektor, dan juga melalui pendekatan dari hulu sampai hilir, melalui pendekatan faktor tidak langsung seperti sanitasi, lingkungan bersih dan juga faktor langsung seperti nutrisi, kesehatan, imunisasi dan program-program kesehatan yang lainnya,” ujar Hasto.

Penulis: Galih Ayu Palupi
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Bagaimana Tingkat Partisipasi Warga Indonesia dalam Kegiatan RT/RW?

Survei menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RT/RW cenderung rendah, hanya 8,1% responden yang tercatat rutin mengikutinya.

Bangga Buatan Indonesia: Media Sosial Dorong Anak Muda Pilih Produk Lokal

Sebanyak 69,3% anak muda Indonesia mengaku mengikuti influencer yang sering mempromosikan produk lokal di media sosial.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook