“Satu dari lima anak di Indonesia mengalami obesitas dan satu dari tujuh remaja di Indonesia mengalami obesitas” ungkap para Mitra Muda UNICEF Indonesia.
UNICEF Indonesia juga membagikan bahwa resiko obesitas sangat beragam dan beberapa di antaranya merujuk kepada penyakit paling mematikan di Indonesia.
World Health Organization (WHO) menjabarkan bahwa diabetes dan jantung menjadi menduduki peringkat tiga besar penyakit kronis yang menyumbang angka kematian paling banyak di Indonesia.
UNICEF Indonesia menegaskan bahwa diabetes dan jantung juga ditemukan menjadi ancaman atau resiko yang berpotensi dialami pengidap obesitas.
Prof.Dante Saksono Harbuwono selaku Wamenkes Indonesia juga mengutarakan bahwa sindrom metabolik seperti stroke dapat dipicu oleh obesitas, yang mana stroke saat ini masih dinobatkan WHO sebagai penyakit kronis paling mematikan nomor satu di Indonesia.
Ditemukan bahwa saat ini permasalahan terhadap penanggulangan dan prevensi terhadap obesitas faktanya cukup kompleks, seperti persoalan sosio-kultural hingga gizi, maupun kesehatan itu sendiri.
Data yang dikemukakan berdasarkan survei The World Factbook-Central Intelligence Agency menemukan bahwa obesitas juga menjadi persoalan besar bagi bangsa-bangsa ASEAN.
Brunei Darussalam ditemukan menduduki posisi teratas dengan persentase 28% penduduknya menderita obesitas. Survei ini membuat definisi obesitas dalam pengukuran indeks berat badan ideal (BMI) yaitu 30 kilogram (kg) atau lebih tinggi.
Prof.Dante mengemukakan bahwa Indonesia sendiri masih terbilang mengalami peningkatan dalam jumlah persentase populasi obesitas.
Peningkatan tersebut juga diyakini berkaitan dengan faktor perekonomian, bahwa pendapatan yang membaik dapat mendorong individu untuk memiliki gaya konsumsi terhadap makanan lebih tinggi.
Indonesia sebagai negara menengah perekonomiannya dianggap sedang mengalami permasalahan tersebut.
Ditambah juga situasi lebih banyaknya aksesibilitas masyarakat untuk membeli makanan melalui hadirnya aplikasi pemesanan onlen dengan sistem pesan-antar, mengurangi pergerakan dan aktivitas masyarakat.
UNICEF Indonesia menegaskan bahwa persoalan obesitas sejatinya dilatarbelakangi oleh banyak faktor seperti gizi tidak seimbang seperti stunting, faktor biologis, persoalan gaya hidup, hingga persoalan eksternal seperti ketersediaan pangan yang tidak sehat dan tiadanya fasilitas penunjang aktivitas olahraga di sekitar masyarakat.
Apabila merujuk kepada kondisi sosial, saat ini masyarakat memang dihadapi oleh situasi tanpa batas (borderless era) di mana kebebasan menjangkau informasi atau tayangan iklan lebih mudah.
Masyarakat dapat dengan mudahnya “dipersuasi” untuk membeli dan mengonsumsi makanan-makanan yang faktanya tidak mendukung secara optimal terhadap keberlangsungan stamina dan gizi pada tubuh.
Tren terbaru yang pernah menyita beberapa ahli gizi nasional contohnya, mengenai viralitas mencoba tahu goreng dengan minyak panas kemudian ditambahkan bubuk cabai.
Komposisi makanan yang sangat jelas tidak mengandung gizi, pun kebermanfaatan terhadap performa tubuh.
Dokter Rosa Valerina sebagai salah satu dokter spesialis di RS National Hospital Surabaya mengungkapkan bahwa tren tersebut berbahaya dan dapat menyebabkan lesi atau luka di dalam seperti mukosa di dalam mulut dan tenggorokan.
Dokter Rosa juga menyimpulkan bahwa tidak semua tren perlu diterapkan terutama apabila hal tersebut hanya mendatangkan kerugian, filterisasi terhadap hal-hal viral perlu terus digiatkan.
Oleh karena itu seperti diungkapkan bahwa saat ini penanganan dan pencegahan obesitas di Indonesia memang masih menghadapi persoalan yang struktural.
Termasuk kebiasaan masyarakat, stigma masyarakat terutama terhadap anak-anak dengan status overweight dianggap menggemaskan sehingga potensi menghilangkan kecenderungan untuk berfokus kepada kesehatan dan tumbuh kembang anak yang ideal.
Penulis: Andini Rizka Marietha
Editor: Iip M Aditiya