Angka disabilitas dalam suatu negara dapat digunakan untuk menilai beberapa aspek. Beberapa aspek tersebut ialah adanya gangguan kesehatan, batasan dalam lingkungan sosial, serta menggambarkan kondisi medis dan model sosial. Maka secara keseluruhan, United Nations menyimpulkan bahwa disabilitas merupakan dampak dari interaksi kondisi kesehatan seseorang dengan lingkungannya.
Penyebab Disabilitas Pada Penduduk Indonesia
Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa penyebab utama dari disabilitas adalah penyakit. Penyakit berperan 59,1% sebagai penyebab disabilitas (melihat, mendengar, berjalan) pada penduduk yang berusia di atas 15 tahun, di mana 53,5% dari penyakit tersebut termasuk penyakit tidak menular (PTM).
Pada tahun tersebut, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% total penduduk Indonesia, mayoritas berada pada kelompok usia lanjut.
Definisi mengenai disabilitas sendiri tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Berdasarkan definisi tersebut, penyandang disabilitas terbagi menjadi 4 tipe, yang meliputi: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental, dan/atau penyandang disabilitas sensorik.
Jenis-Jenis Penyakit Penyebab Disabilitas
Dalam data SKI, tergambar jenis-jenis penyakit yang berkontribusi sebagai penyakit penyebab disabilitas. Angka tertinggi merupakan hipertensi, yaitu sebesar 22,2%. dan diabetes (10,5%). Dampak yang ditimbulkan dari PTM, khususnya hipertensi dan diabetes, dapat berupa timbulnya disabilitas, mortalitas, maupun meningkatnya beban ekonomi.
Hal tersebut dijelaskan dalam hasil studi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019 penyakit jantung iskemik dan serebrovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia.
Hipertensi menjadi kondisi yang berkaitan erat dengan penyakit serebrovaskular, sedangkan diabetes berkontribusi besar terhadap penyakit tidak menular di Indonesia. Namun, di 30 tahun terakhir, prevalensi hipertensi meningkat dari 11,2% di 1990 menjadi 13,5% di 2019 dan prevalensi diabetes meningkat dari 4,1% di 1990 menjadi 6,2% di tahun 2019.
Penyakit tidak menular (PTM) juga memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Menurut laporan oleh World Economic Forum, Indonesia bisa menghadapi potensi kerugian ekonomi sebesar $4,47 triliun dari tahun 2012 hingga 2030 akibat PTM. PTM yang paling umum di Indonesia meliputi penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis, diabetes, dan kondisi kesehatan mental.
Beban ekonomi dari PTM terutama disebabkan oleh peningkatan biaya perawatan kesehatan karena biaya pengobatan yang lebih mahal dan peningkatan pengeluaran lainnya untuk kesehatan, hilangnya produktivitas, dan kematian dini.
Hal ini membatasi penggunaan anggaran untuk investasi keperluan lain yang lebih produktif. Maka, disabilitas dan kematian dini akibat PTM, terutama disebabkan oleh hipertensi dan diabetes, berdampak finansial terhadap individu, rumah tangga, masyarakat, dan pemerintah.
Sementara itu, dalam tingkat individu dan rumah tangga, individu/rumah tangga dengan PTM memiliki risiko pengeluaran katastropik yang lebih tinggi karena pengeluaran besar yang tidak terduga untuk pengobatan PTM. Di bawah Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), jumlah belanja penyakit katastropik adalah 17,92 triliun rupiah (sekitar 20,0% dari total pengeluaran untuk layanan kesehatan, yakni 90,56 triliun rupiah) di tahun 2021.
“Penanggulangan terhadap angka disabilitas memerlukan intervensi dari negara untuk memastikan penyandang disabilitas menjadi kelompok yang tidak ditinggalkan dalam pembangunan,” merupakan pernyataan dr. Ellyana Sungkar dalam Kementerian Kesehatan RI.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan organisasi lainnya. Dalam studi yang dilakukan oleh SKI, ditegaskan keperluan penerapan rehabilitasi medik sebagai terapi untuk meningkatkan kemampuan fungsional penyandang disabilitas sesuai dengan potensi yang dimiliki, serta untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah atau mengurangi disabilitas serta kecacatan semaksimal mungkin. Hal ini diharapkan terlaksana agar penyandang disabilitas dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Kementerian Kesehatan RI juga mengupayakan adanya kemudahan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas melalui pengadaan huruf braile pada tombol lift, ramp dan rail, penerjemah tuna rungu, pintu yang terbuka otomatis, serta pintu toilet yang terbuka keluar.
Baca juga: Pekerjaan Bagi Kaum Disabilitas Masih Menjadi Tantangan di Dunia
Penulis: Debora Karyoko
Editor: Editor