Defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan pada tahun 2023 mencapai Rp7,2 triliun, sebuah angka yang menunjukkan tantangan besar bagi keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meskipun iuran peserta tidak akan dinaikkan pada 2025, pengelolaan defisit menjadi kunci agar BPJS Kesehatan tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Salah satu faktor yang berkontribusi signifikan terhadap defisit ini adalah tingginya klaim kesehatan akibat penyakit tidak menular (PTM), terutama penyakit jantung, stroke, dan kanker. Merokok, sebagai salah satu faktor risiko utama, menjadi penyebab beban ini, dan pengendalian tembakau dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan.
Beban Penyakit Tidak Menular: Jantung dan Stroke
Berdasarkan data klaim kesehatan BPJS Kesehatan pada 2023, penyakit jantung dan stroke mencatatkan angka klaim yang sangat besar. Penyakit jantung mencatat 20 juta klaim dengan biaya mencapai Rp17,6 triliun, sementara stroke menyumbang 3,46 juta klaim dengan biaya sebesar Rp5,97 triliun. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengeluaran BPJS Kesehatan berasal dari penyakit tidak menular, yang salah satu pemicunya adalah kebiasaan merokok.
Merokok adalah salah satu faktor risiko terbesar untuk penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru. Di Indonesia, sekitar 60% pria dewasa merokok, menjadikan negara ini salah satu yang memiliki angka perokok tertinggi di dunia. Menurut penelitian, pengendalian tembakau yang efektif dapat menurunkan prevalensi merokok, yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah kasus penyakit jantung dan stroke.
Baca Juga: Rokok dan Kanker Paling Mematikan di Indonesia
Potensi Penghematan Melalui Pengendalian Tembakau
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ada potensi besar untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan melalui pengendalian tembakau yang lebih efektif. Merokok, yang dikenal sebagai faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan stroke, berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka klaim penyakit tersebut. Menurut studi yang dilakukan oleh Wu et al., pengendalian tembakau yang lebih ketat dapat menghasilkan penghematan yang signifikan.
Jika kebijakan pengendalian tembakau diterapkan secara efektif, diperkirakan klaim untuk penyakit jantung dapat berkurang hingga 5,4%. Mengingat total klaim untuk penyakit jantung pada 2023 mencapai Rp17,6 triliun, pengurangan 5,4% akan menghasilkan penghematan sebesar Rp0,95 triliun.
Begitu pula dengan penyakit stroke, yang dapat mengalami penurunan klaim hingga 21,2% jika kebiasaan merokok berkurang. Dengan klaim stroke yang mencapai Rp5,97 triliun, penghematan dari pengurangan ini bisa mencapai Rp1,1 triliun.
Secara keseluruhan, potensi penghematan dari pengendalian tembakau ini bisa mencapai Rp2,05 triliun. Jika dihitung dari total defisit yang terjadi pada 2023, yaitu Rp7,2 triliun, penghematan sebesar Rp2,05 triliun ini hampir mengurangi 30% dari total defisit yang ada.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan penurunan prevalensi merokok, beban klaim untuk penyakit jantung dan stroke dapat dikendalikan, yang pada gilirannya dapat mengurangi defisit yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Setelah mempertimbangkan potensi penghematan ini, hasil akhirnya cukup menggembirakan: BPJS Kesehatan dapat mengurangi beban defisit sebesar Rp2,05 triliun.
Pengendalian Tembakau
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, menghadapi tantangan besar dalam hal pengendalian tembakau. Berdasarkan data terbaru dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2023, Indonesia mencatatkan skor pengendalian tembakau terburuk di antara 10 negara ASEAN, dengan skor hanya 20,2.
Sementara itu, negara-negara seperti Thailand dan Singapura berada jauh di depan dengan skor 77,2 dan 75,8, mencerminkan kesenjangan besar dalam kebijakan pengendalian tembakau di kawasan ini. Ketertinggalan Indonesia ini terlihat dari berbagai aspek, seperti pelarangan iklan tembakau, penerapan lingkungan bebas asap rokok, peringatan kesehatan bergambar, dan pencegahan campur tangan industri tembakau.
Pada saat yang sama, Indonesia juga mencatatkan angka konsumsi rokok yang sangat tinggi di kalangan penduduk dewasa. Berdasarkan data 2024, total konsumsi rokok oleh orang dewasa di Indonesia mencapai 278,85 miliar puntung rokok per tahun—sebuah angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Untuk konteks, negara tetangga seperti Brunei hanya mengonsumsi 0,13 miliar puntung rokok per tahun, Singapura 1,26 miliar, dan Thailand 2,05 miliar. Sementara itu, negara dengan konsumsi tinggi lainnya, seperti Vietnam (79,05 miliar) dan Filipina (52,36 miliar), juga menunjukkan angka yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia. Tingginya angka konsumsi rokok ini berkontribusi besar terhadap beban kesehatan masyarakat, termasuk peningkatan jumlah klaim BPJS Kesehatan untuk penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru.
Baca Juga: Isu Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 2025
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor