Kemajuan teknologi dan modernisasi dunia tidak selalu membuahkan hal-hal yang manis. Tingkat persaingan semakin tinggi, membuat tekanan dan beban yang dibawa masyarakat dunia semakin berat. Depresi tidak lagi terhindarkan, hanya tinggal menunggu saat yang tepat untuk muncul. Hal tersebut tidak aneh, setiap manusia berusaha bertahan hidup, salah satunya adalah dengan bekerja. Tekanan yang berlebih dari pekerjaan dapat mengakibatkan depresi, yang berakibat buruk bagi kesehatan.
Depresi tidak hanya menyerang orang dewasa. Bahkan anak-anak pun bisa mengalami depresi akibat lingkungan pergaulannya di keluarga maupun sekolah. Melansir laman Unicef Indonesia, depresi adalah salah satu bentuk kondisi kesehatan mental yang dialami banyak orang dan sering kali muncul berbarengan dengan kecemasan.
Depresi merupakan bentuk reaksi terhadap suatu peristiwa, seperti kekerasan, penganiayaan, kepergian orang terdekat, dan masalah lainnya. Seseorang juga bisa mengalami depresi setelah merasa stres untuk waktu yang lama. Menariknya, depresi dapat diturunkan di dalam keluarga.
Menurut laporan Survei Kesehatan Indonesia (2023) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka prevalensi depresi di Indonesia adalah sebesar 1,4%. Hal itu berarti, sekitar 1,4 dari 100 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami depresi.
Jika dilihat berdasarkan status pekerjaannya, maka pelajar dan pengangguran memperoleh angka prevalensi depresi tertinggi dibanding pekerjaan lainnya.
Pelajar dan pengangguran memperoleh angka prevalensi depresi sebesar 2%, menjadikannya yang tertinggi di antara pekerjaan maupun status lainnya. Tekanan yang besar terhadap pelajar maupun pengangguran menjadi pendorong tingginya tingkat depresi dalam kelompok tersebut.
Selain itu, angka depresi pada kelompok buruh, sopir, dan asisten rumahtangga juga cukup tinggi, yakni sebesar 1,6%.
Posisi berikutnya dipegang oleh kelompok pegawai swasta, wiraswasta, nelayan, hingga petani, yang tingkat depresinya adalah sebesar 1,4%.
Menariknya, orang yang bekerja di lembaga pemerintah memiliki tingkat depresi yang rendah, nilai prevalensinya di angka 0,3%, cukup jauh jika dibandingkan dengan pelajar maupun pengangguran. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah PNS, TNI, Polri, hingga karyawan BUMN dan BUMD.
Depresi harus mulai dianggap serius. Pasalnya, depresi yang dibiarkan terus menerus dapat berbahaya, hingga mengakibatkan bunuh diri. Depresi bukan kelainan jiwa, korban depresi juga bukannya harus dijauhi. Mereka justru membutuhkan bantuan profesional segera.
Ketersediaan Hotline Pencegahan Bunuh Diri di RI Masih Kurang
Saat ini, pemerintah Indonesia menyediakan hotline untuk pencegahan bunuh diri melalui layanan SEJIWA pada nomor 119. Meski begitu, beberapa penyintas yang pernah menghubungi nomor tersebut mengaku tidak mendapat respon yang dibutuhkan, beberapa bahkan tidak dijawab.
Sandersan Onie, peneliti dari Black Dog Australia menyebutkan, hotline merupakan indikator penting yang bisa mencegah seseorang melakukan bunuh diri. Ia khawatir hotline yang tidak maksimal akan membuat orang kecewa dan tidak mau lagi mencari bantuan.
“Orang dalam situasi krisis bisa saja berpikir, ‘Saya akan mencoba sekali nih’, dan mereka akan telepon dan ternyata yang menjawab adalah voicemail bahwa nomor itu tidak tersambung. Mereka yang punya pengalaman buruk mencari bantuan, itu ke depannya akan sulit sekali diyakinkan untuk mencari bantuan. Jadi kapok,” ungkapnya.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor