Jam kerja merupakan salah satu faktor krusial dalam sistem ketenagakerjaan. Tidak hanya menentukan produktivitas, jam kerja juga berdampak pada kesejahteraan tenaga kerja. Setiap negara memiliki aturannya masing-masing terkait jam kerja, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasar. Jam kerja yang terlalu panjang akan mendorong beban kerja berlebih dan produktivitas menurun, sedangkan jam kerja yang terlalu singkat mengakibatkan target-target tidak tercapai.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terdapat dua skema jam kerja yang berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut.
- Tujuh jam kerja sehari atau 40 jam seminggu, berlaku untuk 6 hari kerja dengan ketentuan 1 hari libur
- Delapan jam kerja sehari atau 40 jam seminggu, berlaku untuk 5 hari kerja dengan ketentuan 2 hari libur
Tiap perusahaan dapat menyesuaikan aturan jam kerja yang berlaku sesuai kebutuhan. Meski begitu, peraturan ini tidak berlaku bagi pekerjaan-pekerjaan tertentu, utamanya pekerjaan yang sangat membutuhkan efisiensi dan produktivitas tinggi, seperti:
- Pekerjaan yang bergerak di pelayanan jasa kesehatan
- Pekerjaan yang bergerak di pelayanan jasa transportasi
- Pekerjaan yang bergerak di pelayanan perbaikan alat transportasi
- Pekerjaan yang bergerak di bidang usaha pariwisata
- Pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi
- Pekerjaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga listrik, pelayanan air bersih, dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi
- Pekerjaan di bidang usaha swalayan, perbelanjaan, dan sejenisnya
- Pekerjaan yang bergerak di bidang media massa
- Pekerjaan yang bergerak di bidang pengamanan
- Lembaga konservasi
- Pekerjaan-pekerjaan yang jika dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan juga pemeliharaan/perbaikan alat produksi
Kalau Realitanya?
Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di luar jam kerja yang ditentukan harus memberikan kompensasi berupa upah lembur. Sayangnya, penerapan aturan jam kerja ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti sistem kerja informal yang terlalu fleksibel, sistem shift, hingga tekanan produktivitas yang mendorong pekerja mengambil jam kerja di luar ketentuan.
Kemunculan tren kerja hybrid juga mempengaruhi konsep jam kerja di Indonesia. Remote working cenderung mengakibatkan pekerja sulit membagi waktu untuk bekerja dan kehidupan pribadi. Selain itu, pelanggaran jam kerja juga masih banyak ditemukan khususnya di sektor padat karya dan informal, yang pada akhirnya berdampak pada kemajuan perusahaan dan kesejahteraan pekerja.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 67,1 juta pekerja pada Februari 2025, termasuk di dalamnya buruh, karyawan, pegawai, pekerja bebas sektor pertanian, dan pekerja bebas non-pertanian.
Rata-rata durasi jam kerja pekerja Indonesia mencapai 41 jam per minggu. Khusus buruh, karyawan, dan pegawai, rata-ratanya mencapai 42 jam seminggu. Hal ini sudah melanggar ketentuan 40 jam kerja per minggu.
Bahkan, terdapat 5,46 juta pekerja yang bekerja lebih dari 60 jam seminggu.
Sebanyak 23,84 juta pekerja bekerja kisaran 45-59 jam seminggu, sudah melebihi aturan 40 jam seminggu yang ditetapkan. Ada pula 22,68 pekerja yang jam kerjanya kisaran 35-44 jam seminggu. Bahkan, ada pula yang bekerja lebih dari 60 jam seminggu, mencapai 5,46 juta pekerja.
Jika digabung, maka pekerja yang kerjanya lebih dari 45 jam seminggu mencapai 44% dari total pekerja nasional.
Sementara itu, ada pula mereka yang bekerja di bawah 24 jam seminggu, dan 765 ribu pekerja masuk kategori tidak bekerja (0 jam kerja).
Berapa Jam Kerja Ideal?
Aturan 8 jam kerja per hari yang umum digunakan di Indonesia berasal dari zaman revolusi industri, yang kala itu familiar dengan slogan “eight hours work, eight hours recreation, eight hours rest” atau 8 jam kerja, 8 jam hiburan, dan 8 jam kerja istirahat. Slogan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja guna meminimalisir kesalahan akibat kelelahan.
Hari kerja yang semula 6 hari kemudian berubah menjadi 5 hari seminggu, seperti yang diusulkan Henry Ford, pebisnis otomotif asal Amerika. Saat ini, 40 jam kerja seminggu jadi patokan yang banyak digunakan di negara-negara dunia, termasuk Indonesia.
Meski begitu, bukan hanya durasi kerja yang perlu diperhatikan, melainkan jam kerja itu sendiri. Menurut penelitian, energi seseorang akan mencapai titik tertingginya pada pukul 10 pagi. Pada jam itulah, seseorang akan merasa paling produktif dan optimal untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun terdapat penurunan signifikan pada jam 2 siang, bukan karena kenyang sehabis makan siang, melainkan karena ritme sirkadian tubuh manusia.
Dengan demikian, jam kerja panjang tidak selalu mendorong produktivitas. Studi dari Stanford menyebutkan bahwa produktivitas optimal hanya selama 50 jam seminggu, dengan kisaran 9-10 jam kerja per hari. Lewat dari batas tersebut, maka produktivitas akan menurun drastis. Bahkan, studi yang dilakukan oleh John Pencavel itu menyebutkan bahwa bekerja 70 jam dan bekerja 56 jam akan menghasilkan pekerjaan yang sama.
Jika dilihat dari negara-negara dengan produktivitas tertinggi di dunia seperti Luksemburg, jam kerja di negara tersebut hanya 40 jam seminggu. Di Rusia, jam kerja ditetapkan 38 jam seminggu, Meksiko sebesar 41,2 jam seminggu, Korea Selatan 40,7 jam seminggu, dan CHile selama 38,2 jam seminggu, namun negara-negara tersebut memiliki produktivitas yang tinggi dihitung dari PDBnya.
Dengan demikian, aturan jam kerja yang ditetapkan saat ini di Indonesia sudah merupakan jam kerja ideal, 40 jam seminggu.
Jam Kerja Mulai Kabur
Batasan jam kerja mulai kabur akibat penerapan remote working yang memperbolehkan pekerjanya bekerja dari mana saja, termasuk rumah. Akibatnya, ketentuan jam kerja sering kali tidak ditegaskan dengan baik, sehingga banyak pekerja remote yang harus bekerja di luar jam kerja.
Sisi positifnya, jam kerja jadi lebih fleksibel. Namun sisi negatifnya, beberapa pekerjaan jadi mempunyai jam kerja yang terlalu fleksibel, tanpa memperhatikan waktu untuk istirahat maupun hiburan.
Hasil studi dari Draugiem Group menghasilkan penemuan penting, bahwa pada akhirnya, bukan hanya jam kerja yang menentukan produktivitas. Hal yang lebih berpengaruh adalah bagaimana setiap pekerja mengelola waktu mereka.
Menurut studi tersebut, pekerja religius yang banyak mengambil istirahat singkat untuk ibadah ternyata lebih produktif ketimbang mereka yang bekerja dengan durasi yang lebih lama.
Menurut studi DeskTime, sistem kerja selama 52 menit dan istirahat 17 menit dianggap ideal untuk mendorong produktivitas. Waktu 17 menit dapat digunakan untuk jalan-jalan, olahraga, atau mengobrol singkat dengan rekan kerja.
Pada akhirnya, memang hasil studi tidak dapat digeneralisasi di setiap industri dan negara. Namun setidaknya, terdapat gambaran terkait jam kerja ideal yang harus mulai diterapkan perusahaan Indonesia guna mendorong kemajuan capaian perusahaan.
Baca Juga: Rata-Rata Jam Kerja di Indonesia Terpendek Kedua di ASEAN
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor