Tak bisa dipungkiri bahwa teknologi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir semua sisi kehidupan telah dikerjakan menggunakan teknologi digital. Sebut saja pelayanan pemerintah, pemesanan makanan, pengiriman uang, tayangan hiburan, hingga berbalas pesan. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia tidak bisa lepas dari digitalisasi.
Seperti kebanyakan hal lainnya, penggunaan teknologi digital yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi kehidupan. Guna mengikis dampak negatif tersebut, maka disusunlah indeks kesejahteraan digital (digital well-being). Kesejahteraan digital dapat diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara kesempatan, risiko, keuntungan, dan kerugian yang berhubungan dengan teknologi digital. Kondisi yang ideal adalah kondisi yang seimbang antara pemanfaatan peluang dan kebutuhan dari teknologi digital.
Ithra, perusahaan asal Arab Saudi melakukan survei untuk mengukur tingkat kesejahteraan digital di 35 negara. Hasil survei tersebut terhimpun dalam laporan yang berjudul Sync Digital Well Being Index 2024. Terdapat 12 indikator yang digunakan untuk menakar indeks kesejahteraan. Indikator-indikator tersebut berhulu dari dua sub-indeks yang menjadi perhatian utama pada survei ini.
Pertama, balancing needs atau kebutuhan yang seimbang, yang menilai risiko akibat teknologi digital dan sejauh mana risiko itu ditangani.
Ada enam indikator yang lahir dari sub-indeks ini yakni kohesi sosial, kesehatan mental, kesehatan fisik, kemampuan untuk terputus (dengan teknologi digital), kualitas informasi, dan keamanan siber. Nantinya indikator tersebut akan diturunkan menjadi pertanyaan yang akan dilayangkan kepada responden.
Sub-indeks yang kedua adalah capturing opportunities atau meraih kesempatan. Sub-indeks ini mengukur kesempatan yang lahir dari adanya teknologi digital dan menakar seberapa besar peluang kesempatan tersebut dimaksimalkan. Keenam indikator tersebut adalah konektivitas, hubungan sosial, edukasi, pekerjaan, hiburan, dan akses terhadap kebutuhan dasar. Setiap indikator kemudian dinilai dan dirata-ratakan untuk memperoleh indeks kesejahteraan digital.
Hasilnya, Singapura berhasil menjadi negara dengan indeks kesejahteraan digital tertinggi di Asia, skornya mencapai 68,1. Di bawahnya ada China dengan skor 60,5 serta Korea Selatan dengan 59,6. Uni Emirat Arab menyusul dengan skor 57,9, kemudian Malaysia dengan 57,8. Sementara itu, India dan Jepang sama-sama mencatatkan skor 57,5, menempatkan keduanya pada posisi yang sejajar.
Indonesia berada di posisi setelahnya dengan skor 54,5, sedikit lebih tinggi dibanding Turki yang meraih 54,4. Terakhir, Vietnam melengkapi daftar negara Asia ini dengan skor 53,4.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jika melihat tiap indikator, posisi Indonesia cukup beragam. Indikator kohesi sosial mendapat skor 64,8 yang menandakan ikatan sosial masih cukup kuat, sementara kesehatan mental dan kesehatan fisik berada di 50,7 dan 41,5 yang menunjukkan perlunya perhatian lebih. Indikator paling rendah adalah kemampuan untuk memutuskan hubungan dengan teknologi digital dengan 31,3, yang berarti masyarakat masih kesulitan untuk lepas dari perangkat digital.
Di sisi lain, ada juga catatan positif. Indikator konektivitas dan edukasi menonjol dengan skor masing-masing 72,1 dan 73,3, menandakan akses internet dan kemampuan penggunaannya sudah baik. Hubungan sosial pun masih cukup terjaga di angka 65,4. Namun, tantangan masih terasa pada indikator hiburan dan budaya (58 poin), akses ke kebutuhan (54,6 poin), dan produktivitas kerja (39,3 poin).
Baca Juga: Indeks Masyarakat Digital Terpantau Naik, Aspek Keterampilan Digital Memimpin
Sumber:
https://sync.ithra.com/dwi/en/about
https://wellbeingpeople.com/optimal-wellbeing/8-ways-to-improve-your-sense-of-digital-wellbeing/2023/
Penulis: Faiz Al haq
Editor: Editor
